• Model dan Penulis

    Anita, ya itulah namaku. Aku sayang banget sama Romi, pacarku tentunya. Entah harus gimana kalau dia sampe ninggalin aku dan pergi meninggalkan aku dan kehidupanku. Mungkin aku  nangis 7hari 7malem, atau mungkin lebih. Aku juga ngerasa kalau dia sayang sama aku. Dan aku harap dia bakal selalu sayang sama aku tanpa batasan waktu. Kebanggaan tersendiri buat aku dapetin cowok yang punya kriteria sebagai idaman wanita. Dia tinggi, putih dan keren. Tapi, bukan itu yang bikin aku suka sama dia. Aku suka sama dia karena sifatnya yang selalu pantang menyerah. Dia juga ga pernah bosen buat dengerin cerita aku yang terbilang ga penting.





    Aku sama dia, satu sama lain saling melengkapi. Ga ada kata berantem lama. Oh iya, dia juga punya ambisi jadi seorang model terkenal. Aku selalu support dia.

    “Wah, ini nih cita-cita masa depan” jari telunjuknya menunjuk ke sebuah gambar model terkenal dan keren yang terpampang jelas di hadapannya. Wajahnya menoreh ke arahku dan tersenyum.

    Aku tersenyum menandakan bahwa aku mendukung ia sepenuhnya. Dia juga membalas senyumanku dengan manis dan ceria.

    “Kamu percaya kan kalau aku yang bakalan ada di majalah ini suatu saat nanti?”

    Aku kembali tersenyum “Iya, aku percaya. Semangaaaaaaaat!!”  supportku agar dia tetap maju demi ambisi dan keinginannya. 

    “Makasih ya kamu selalu nyemangatin aku” 

    Lagi-lagi aku tersenyum dan mengangguk “Sama-sama”  ucapku.

    Dia selalu berangan dan bermimpi. Banyak gayanya untuk bahan poto. Bahkan, aku saja kalah gaya bila ibandingkan dengannya. Banyak potonya yang di unggah-upload ke jejaring sosial, Facebook. Avatar di Twitternya pun diganti setiap hari dengan berbagai gaya. Kadang aku ngakak sendiri liat gaya-gaya dia yang sok eksis. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah pacarku. Aku harus jadi obsesi agar dia bisa mengejar ambisinya.

    ***

    Pak Tio adalah seorang direktur sebuah perusahaan penerbit majalah yang tertarik dengan tampang yang dimiliki Romi untuk dijadikan cover majalah.

    “Anitaaaaaa.” teriak Romi menghampiriku, dia tampak kegirangan. Aku menorehkan wajahku ke arah dimana suara itu berasal. Aku terhenti dari langkahku. Romi menghampiri dengan langkah yang cepat. 

    “Romi,, kenapa? Seneng kayanya” tanyaku penasaran.

    “Liat deh terus baca” dia menyodorkan Handphonenya ke tanganku. Ku lihat di layarnya tampak tampilan Facebook. Message Facebook yang dia maksud untuk tunjukkan padaku. Aku membacanya dan terkaget.

    Tio Ariyanto
    Selamat siang,
    Maaf telah mengganggu waktu anda. Perkenalkan, saya Tio. Direktur perusahaan penerbit majalah EKSIS. Setelah aya melihat profil anda, saya tertarik untuk menjadikan anda sebagai cover majalah saya. Bisakah anda memperkenalkan diri?

    Romi purnama
    Salah hormat Pak,
    Sebelumnya saya berterima kasih sekali atas ketertarikan anda untuk menjadikan saya sebagai cover di majalah anda. Perkenalkan, saya Romi Purnama. Saya duduk di kelas XI, tepatnya di SMA Negeri Mandiri.

    Tio Ariyanto
    Saya tertarik, tolong anda datang ke perusahaan saya lusa. Jl. Kemerdekaan no. 43, Jakarta.

    Romi Purnama
    Baiklah, terimakasih banyak Pak.

    ***

    Aku menatap Romi. Sepertinya Romi ingin cepat mengetahui reaksiku setelah membaca message tersebut. Aku menangis senang. Tanda bahwa perasaanku saat ini adalah senang seperti perasaannya. Dia memelukku seraya berkata “Makasih ya kamu  selalu nyemangatin aku”. Dia pun melepas pelukannya. Lalu, ia menghapus air mata kebahagiaanku untuknya.

    ***

    Pagi-pagi sekali dia menghubungiku

    “Hallo Anita. Sekarang aku harus pergi ke Jakarta buat ketemu Pak Tio.”

    “Kok pagi-pagi banget?” tanyaku.

    “Ya, kan kamu tau sendiri gimana macetnya Bandung sama Jakarta.”

    “Hehe, iya aku tau tapi, kamu berangkat sama siapa?

    “Sendiri” jawabnya terdengar enteng.

    “Hah? Sendiri?” aku kaget mendengarnya. Untuk urusan sepenting itu, dia mau berangkat sendirian.
    “Iya, sendiri. Keluarga aku belum pada tau, biar ini jadi surprise buat mereka.”

    “Oh, ya udah, kamu hati-hati ya. Jaga diri kamu baik-baik.”

    “Anita sayang, jangan khawatir. Tenang aja, aku bakal baik-baik aja kok. Ya udah ya aku tutup teleponnya sekarang. Bye..”

    “Bye.”

    ***

    Mungkin itu menjadi percakapan terakhir diantara aku sama Romi. Pasalnya, akhir-akhir ini Romi selalu sibuk, sibuk dan sibuk. Sekarang, Romi udah ga pernah bales SMS dariku. Ditelepon pun ga ada gunanya. Dia ga angkat. Kini Handphone ku sepi tanpa SMS dari Romi yang biasanya selalu perhatian setiap waktu. Tapi kini, ga ada. GAK ADAAA!! Dia udah berubah menjadi model terkenal pikirku dan mungkin ga mau ada aku di kehidupannya lagi. 

    Bangku taman pun kini bukan tempat istimewa lagi buatku, tempat yang dimana pasti hanya ada aku dan Romi, kini orang lainlah yang menduduki bangku taman itu. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mendatangi kelasnya untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

    Di depan kelasnya aku liat kerubungan orang banyak dan suasananya rame banget setelah aku mendekat, ternyata orang yang berada di tengah kerubungan orang banyak tersebut adalah Romi. Hingga akhirnya aku mengurungkan niatku untuk menghampirinya. Karena aku yakin, dia tak kan meluangkan waktunya untukku walau hanya satu menit. Berbeda dengan dahulu, sebelum ia terkenal. Dia selalu ada waktu untukku.

    Aku berjalan mundur dengan pelan tak perduli orang di sekitarku. Aku hanya berjalan dan berjalan mundur. Tak sengaja aku menubruk orang yang berjalan berlawanan dengan arahku. Aku kaget, segera aku membalikkan badanku dan meminta maaf.

    “Ups, maaf” ujarku.

    “Emh, ga apa-apa” kata cowok tinggi yang aku tabrak tadi. “Aku Rama, kelas XII. Kayaknya aku jarang liat kamu ya. Kelas berapa?”

    “Aku Anita, kelas XI”. Di suasana kayak gini masih aja ngajak kenalan dengan modus pura-pura jarang liat aku. “Sekali lagi aku minta maaf ya” lanjutku lalu pergi.

    ***

    Sepulang sekolah, aku ganti baju lalu mengambil minuman segar dan menuangkannya ke gelas. Ya, itung-itung mendinginkan perasaanku tadi. Aku lihat siaran di televisi, ada wawancara di salah satu channel. Sepertinya aku kenal seorang yang sedang berada di tengah wartawan tersebut dan dengungan ribuan pertanyaan. Romi, ya dia Romi.

    “Bagaimana perasaan anda dengan menjadi terkenal cover majalah yang disegani oleh semua orang. Khususnya anak-anak remaja?” tanya salah seorang wartawan yang berdiri tepat di dekatnya. 

    “Ini semua karena semangat dari orang tua dan teman-temanku” jawabnya. Aku kecewa dengan jawaban darinya. Dulu dia bilang, aku dan aku lah penyemangatnya.

    “Apakah anda sudah memiliki pacar?” tanya wartawan lain.

    “Pacar?” tanya Romi lalu dia tertawa.

    Aku deg-degan. Akankah namaku terngiang di layar kaca televisi?

    “Aku ga punya pacar” jawa Romi enteng. 

    Mendengar itu, aku “Shock”.  Dianggap apa aku selama ini? Gelas yang aku genggam tak sadar terjatuh dan pecah dengan seketika. Air mataku menetes. Hatiku hancur, remuk tak tersisa. Tak menunggu lama, langsung aku matikan televisi itu. Aku banting remotenya. Dan segera aku pergi ke kamar. Pecahan beling yang berhamburan, tak ku hiraukan. Yang aku rasakan hanya perih dan hancur. 

    ***

    Selama ini aku mencoba melupakan semua tentang kenanganku dengannya. Aku berniat untuk melupakan dan memusnahkan dia dari hatiku.  Aku menyibukkan diriku sendiri. Hingga akhirnya aku terbiasa tanpa hadirnya dalam hidupku. Hanya Rama lah kini yang datang untuk menghiburku. Rama, orang yang pernah aku tabrak waktu itu dia selalu menghibur saat aku terpuruk karena Romi.

    ***

    Aku mendapat pemberitahuan bahwa karya-karyaku diterima dan akan dimuat di Majalah begitu pula dengan Novel yang aku karang, dan akan diterbitkan. Itu menjadi sebuah kebanggan tak terhingga untukku. Tak lama kemudian, novelku menjadi Best Seller. Dan aku mendapat gelar sebagai penulis temuda dengan umur 16 tahun. Memang, menulis adalah salah satu dari hobbyku dan menjadi kebiasaan di saat ada waktu luang. Dan aku diundang pada acara Reallity Show.

    ***

    “Bagaimana perasaan anda dengan dijuluki sebagai penulis termuda? Novel anda pun menjadi Best Seller"  Tanya Pemandu Acara di Reallity Show tersebut.

    “Aku sangat berterima kasih sekali kepada Allah SWT, orang tuaku dan teman-temanku yang mendukungku sampai sejauh ini serta seseorang yang menjadi sumber inspirasiku.” jawabku.

    “Apakah anda mengenal sosok orang di poto ini?” pemandu acara menyodorkan sebuah poto dan yang aku liat gambar di poto itu adalah Romi.

    “Hm, dari mana anda mendapat poto ini?” tanyaku heran.

    “Kru mengumpulkan data tentang anda, dan Tim Kru mendapatkan poto ini dari poto yang terupload di Facebook Romi Purnama” jawabnya.

    Aku kaget. Bukannya terakhir aku melihat poto-potonya bersamaku telah dia hapus semua? Dan saat aku mengetahui hal itu aku semakin jatuh dan merasa tiada berguna. Setelah dia terkenal, potoku dengannya lenyap di delete olehnya. Dan apa maksudnya setelah aku terkenal dengan karya-karyaku dia kembali mengupload potonya dulu bersamaku.

    “Emh. Iya, aku mengenalinya. Ini Romi, model cover majalah.” Jawabku sesingkatnya

    “Ada hubungan apa antara anda dengannya?”

    Aku terdiam sejenak. Jawaban apakah yang akan ku berikan saat ini. Di satu lain memang aku pernah mempunyai hubungan dengan Romi. Tapi,, aku refleks berkata “Saya mengenalinya. Kami satu sekolah. Dan dia yang dulu selalu bilang ‘Makasih ya kamu selalu nyemangatin aku’.

    “Maksudnya?” tanya pemandu acara penasaran. Aku memilih diam dan tak akan ku jawab. Ku takut ada kesalahpahaman yang nanti akan terjadi saat ketika ku salah berucap. Pemandu acara yang merasa ku tak kan menjawab pertanyaan tersebut, lalu segera angkat bicara “Mari kita hadirkan Romi Purnamaaa” serentakan tepuk tangan berderu ramai. Aku kaget dan bingung, mengapa Romi harus dipanggil pada acara ini? Dia berjalan mendekatiku dengan perlahan. Aku memalingkan wajahku sejenak ke arah lain. Pandanganku kosong. Kini ku lihat Romi sangat dekat denganku, dia bersujud,,

    “Maafin aku ya, aku yang pernah ga ngakuin kamu waktu itu” ucapnya.

    Aku menorehkan wajahku dan menatapnya dalam, masih dengan pandangan kosong yang ku rasa saat ku tatap kedua bola matanya. Dan aku masih memilih untuk menjawab pertanyaan itu.

    “Memang sebelumnya ada hubungan apa diantara kalian berdua?” tanya pemandu acara yang sangat terlihat penasaran dengan apa yang terjadi kini.

    “Dia adalah pacarku” jawab Romi. ,

    “Pacar?” pemandu acara mengulangi kata yang Romi utarakan.

    “Memang salah saya yang pernah tak mengakuinya kala itu.”

    “Mengapa?” tanya pemandu acara kembali. Kali ini Romi tak menjawab pertanyaan itu. Keliatannya dia malu, karena dia tak ingin mengakuiku sebagai pacarnya yang saat itu aku hanya orang biasa, sedangkan Romi seorang model  terkenal cover majalah. Aku langsung mnyambar untuk mengisi kekosongan waktu.

    “Emh, itu kan dulu, ga apa-apa kok, lupain aja” lanjutku sembari tersenyum.

    “Jadi, kamu mau kembali padaku?” tanya Romi.

    Aku terdiam sesaat. “Maaf, untuk itu aku ga bisa”  jawabku.

    “Kenapa?” potongnya.

    “Karena selama ini ada Rama yang selama ini menggantikanmu di saat tiada hadirmu untukku” jelasku singkat dan mengundang ribuan pertanyaan baginya.

    “Rama? Siapa?” tanyanya heran.

    “Bayangan semu di hatiku yang berubah menjadi nyata serta mampu menggantikanmu yang pergi tanpa pamit” ucapku memperjelas.

    Dia membeku. Perlahan air matanya turun dengan pasti. Tangis penyesalan. Dia berlari meninggalkan tempat itu dan melemparkan bingkisan yang berisikan foto-fotoku dengannya saat dulu denganku, hingga akhirnya foto tersebut berhamburan.

    0 komentar

  • Gebetan Sahabat

    “Gimana, di sekolah kita, lo suka sama siapa Dit?”  tanyanya penasaran.

    Gue hanya tersenyum,

    “Hey, ditanya malah senyum-senyum ga jelas.” Pintanya seraya jawabanlah yang ingin dia dengar bukan isyarat senyuman yang gue tunjukkin ke dia.



    “Masih sama” jawab gue singkat. Sepertinya Rissa agak terlihat sedikit bingung dengan jawaban gue tadi. “Perasaan gue masih sama pada saat gue cerita sama lo tentang siapa orang yang gue suka.” jawab gue memperjelas, tapi masih tak menyebutkan namanya.

    “Rangga?” suaranya keras, mungkin hampir memecahkan suasana. Dia yakin sekali dengan jawabannya. Ya, Rangga. Seorang kakak kelas yang cool.

    “Ih, berisik lo, ntar gimana kalau ada yang denger!” tangan gue membungkam mulutnya.

    Dia mengangguk, dan memberi isyarat untuk melepaskan tangan gue dari bungkamannya. “Nah terus, sekarang lo suka sama siapa?”  tanya gue membalas pertanyaan yang sempat tadi lontarkan, dan sekarang giliran gue. 

    “Lo tau ga yang namanya Agung, kelas X1. Lucu banget tau, gue suka sama dia sekarang. Lo tau kan orangnya yang mana?”

    “Engga,” jawab gue datar singkat dan jelas banget.

    “Ah, lo udah gue cerita, lo malah bilang ga tau dengan wajah yang tanpa dosa kaya gitu” protesnya disertai dengan wajah yang cemberut dan tanpa gairah.

    “Lah, emang gue ga tau Riss”

    “Ya udah, ntar gue tunjukkin deh orangnya ke lo. Gimana?”

    “Iya iya”


                Sayangnya, sebelum Rissa menunjukkan mana orang yang bernama Agung tersebut, gue udah dipindahin ke kelas X8. Karena itu berarti, kemungkinan gue ketemu sama Rissa udah jarang dan mungkin acara curhat-curhatan gue sama dia selama ini ga akan berjalan normal seperti saat itu. 

    ***           
    Waktu emang ga kerasa banget yang gue rasain sekarang, waktu seperti petir yang menyambar dengan seketika. Gue udah kelas XI. 


                “Itu siapa? Perasaan gue ga pernah liat. Anak baru ya?”  tanya gue ke salah seorang temen gue. Gue udah lupa sama Rangga yang ga pernah tau dan mungkin ga penting keberadaan gue di hidupnya.


                “Ah, engga juga ko. Tapi gue ga tau siapa namanya”  jawabnya.


                Mungkin itu pertanyaan bodoh yang hanya untuk mengenal dan mengetahui namanya. Dan mungkin pula gue suka sama dia. Dan sialnya, temen gue juga ga tau siapa nama dia. Tapi dikatakan dengan suka selewat saja, karena perasaan gue saat itu ke dia, hanya datang tiba-tiba dan pergi pun tiba-tiba. Tapi, semua berubah saat gue pernah berdiri deketan sama dia di Koperasi sekolah. Gue rasa ada yang beda dari dia. 


                Hari demi hari, gue pun akhirnya tau kelasnya, XIA5. Tapi, tetep gue belum tau siapa namanya. Gengsi dong kalau gue tanya langsung, gue kan cewek. Dan akhirnya gue punya ide buat nanyain namanya lewat temen gue yang kebetulan juga duduk di kelas yang sama kaya dia, Tia.

    ***           
     “Hm, Ti, itu siapa?” tanya gue penasaran sambil menunjuk ke arah cowok yang gue maksud.


                “Hayo, kenapa suka ya?” 


                “Suka? Ah engga,”

    “Ya udah sih, ngaku aja. Kayak ke siapa aja pake acara rahasia segala”

    Gue ga jawab, tapi gue cuma senyum.


                “Namanya Agung” bisiknya.


                Gue terdiam, gue ngerasa nama itu pernah terngiang di telinga gue. Tapi kapan? Seolah namanya udah familiar gue denger. Sampai akhirnya gue inget, bahwa cowok yang dimaksud Rissa adalah dia. Gue masih diam, membisu dan kaku. Tia yang aneh ngeliat gue kaya gitu, nepuk-nepuk bahu gue. 


                “Namanya Agung, ada yang salah?” dia mengulang sekali lagi.


                Gue menggeleng pelan, “Ga ada yang salah dengan nama itu, tapi kayanya hati gue yang salah milih”


                “Maksud lo?” tanyanya heran.


                “Gue jahat kayaknya kalau gue suka sama dia”


                “Kenapa? Rasa suka itu kan wajar”


                “Tapi, temen gue juga pernah suka sama dia”


                “Mungkin sekarang udah engga”


                “Tapi, tetep aja gue ga enak sama dia”

    ***


                Ternyata, rasa itu emang ga akan pernah bisa bohong siapa pun dia, ga akan pernah bisa ngehalangin yang namanya suka. Dan itu berlangsung lama, entah sampai kapan gue bisa ngilangin rasa suka gue ke dia. 


                Sepertinya dia udah ngerasa GR dengan keberadaan gue yang ga bisa nahan rasa salting gue di depan dia. Dan itu membuat gue merah kaya tomat, mungkin lebih tepatnya mirip kaya tomat mateng yang hampir membusuk. Setiap dia hadir di hadapan gue, gue selalu pengen senyum-senyum ga jelas sendiri. Dan satu hal lagi, saat setiap gue nginget dia, gue juga selalu selalu ngerasa bersalah, karena dia adalah orang yang dimaksud dan diceritakan oleh sahabat gue, Rissa. Kadang, gue juga sering marah sama diri gue sendiri, kenapa gue bisa sampai suka sama itu orang. Yang gue takutin saat ini, yaitu dia tau tentang perasaan gue ke dia bahkan yang lebih gue takutin lagi yaitu dia sampe nembak gue.

    ***           
    Saat gue terdiam duduk di bangku yang tersedia di depan kelas gue, tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang datang menghampiri gue. Gue kaget pas gue nengok ke arah datangnya laki-laki tersebut. Dia ternyata, Agung. Gue bingung, dan otomatis gue juga mendadak salting. Gue berusaha buat nutupin rasa salting gue yang amat sangat buat gue malu kalau ketauan sama dia. Disitu, gue terus diem. Sampai-sampai dia yang pertama memecahkan keheningan suasana waktu itu.


                “Hei,” sapanya


                “Hei juga” jawab gue singkat. Gue pura-pura sibuk dengan handphone yang gue pegang. Karena disitu, gue bingung mesti ngapain.            
    Percakapan antara gue sama dia singkat banget. Dia pergi sama temennya yang kebetulan sekelas sama gue, dan kata terakhir sebelum dia pergi ninggalin gue “Gue cabut dulu ya” ucapnya. Gue mengangguk dan tersenyum.           
    Gue langsung masuk ke kelas dan berteriak saking senengnya. Tapi, setelah gue ngeluarin rasa seneng gue dengan berteriak, gue langsung mendadak mikirin Rissa. Rissa, sahabat gue yang juga suka sama dia.
    ***           
    Kesini-kesini rasanya ada yang tampak berbeda dengan kelakuan dia. Sampai di sms pun pesannya memberikan perhatian yang selalu buat gue lompat-lompat. Ya, entah dari mana dia dapet nomor gue, mungkin dari temennya yang sekelas sama gue, Dika. 


                Lama kelamaan gue deket sama dia. Mungkin hanya dibutuhkan satu langkah lagi untuk bisa milikin dia. Di sisi lain, gue seneng bisa deket sama dia, bisa smsan, bercanda. Tapi, di sisi lain pula gue ngerasa bingung dengan diri gue sendiri. Apakah gue mesti tetep deket sama dia atau gue mesti cuek sama dia demi Rissa? Gue bingung saat-saat gue mikirin akan hal itu.


                            ***             
    Hal yang gue bener-bener takutin saat ini terjadi. Agung nembak gue, dan ini berarti gue harus bener-bener mutusin dengan benar agar semuanya ga jadi hancur, termasuk persahabatan gue sama Rissa.
    (ShortMessageService)

    Agung
    Ada yang mesti gue omongin sama lo

    Dita
    ya udah ngomong aja Gung, ada apa?

    Agung
    Gue suka sama lo Dit, hehe 

    Dita
    Lo ga salah ketik tuh Gung?
    Agung

    Engga, terus gimana jawabannya, lo mau ga jadi pacar gue?


                Gue bingung, gue nangis, gue ga tau apa yang mesti gue perbuat. Hati gue pengen jadi pacar dia tapi gue juga ga mau persahabatan gue sama Rissa jadi hancur hanya karena seorang cowok. Sampai akhirnya gue mutusin buat ga bales SMS dari dia gue takut salah ngomong. Toh, gue ga punya jawaban buat dia.


                Agung terus SMS gue buat bales pesan dari dia. Gue tetep ga bales gue masih tetep nangis sambil meluk boneka Beruang kesayangan gue. Sampai pada akhirnya SMS dia yang terakhir buat gue adalah..

    Agung
    Kalau emang gue salah dengan cara gue nembak lo dan bikin lo ilfeel sama gue, gue minta maaf dan gue janji, gue ga bakalan masuk ke dalam kehidupan lo lagi. Thanks ya Dita 


                            Gue ngerasa bersalah. Gue pikir-pikir gimana semuanya biar berjalan lancar. Sampai otak gue hampir copot gra-gara mikirin sebuah ide cemerlang. Gue bales sms dia. 

    Dita
    Gue, bakalan jawab. Lo datang ke taman sekolah, besok sepulang sekolah

    Agung
    Okay 


                 Setelah percakapan gue dan Agung berakhir malam itu, gue langsung ngirim pesan ke Rissa.

    Dita
    Hai, Rissa, besok gue tunggu lo di taman sekolah ya pulang sekolah

    Rissa
    Emang ada apaan?

    Dita
    Penting pokoknya lo mesti datang. Kalau engga, kita musuhan -_-

    ***


                Keesokan harinya, setelah bel pulang berdering. Gue keluar kelas dengan langkah yang super pelan. Ditambah rasa deg-degan gue yang mungkin jantungnya hampir copot. Disana gue lihat dua orang yang sedang duduk di bangku taman sekolah. Gue yakin seyakin-yakinnya bahwa itu adalah Rissa dan Agung. Duduk berduaan dengan Agung di bangku taman sekolah adalah kesempatan buat Rissa. Dan setelah gue mendekati mereka, ternyata mereka adalah Agung dan Rissa. Gue berdiri tegak tepat di tengah-tengah hadapan mereka. Mereka terbangun.


                “Dita, ada apa nyuruh gue kesini?” sapa dan tanya Rissa, gue cuma bales dengan senyuman.


                “Gimana jawabannya?” tanya Agung. Rissa terlihat kaget dan bingung dan spontan menoreh ke wajah kami berdua. Gue masih terdiam, mata gue berair. Dengan hitungan detik pun mungkin siap untuk menetes.


                Gue bales pertanyaan mereka berdua dengan jawaban yang sama yaitu air mata. Menetes. Gue fokusin mata gue, tepat ke arah titik sinar fokus mata Agung seraya berkata “Dia yang selama ini suka sama lo”. Agung seolah heran dengan perkataan gue tapi, belum aja Agung ngerespon dengan mengucap satu kata, gue langsung ngomong “Lo bisa kan belajar sayang sama dia seperti lo belajar sayang sama gue.”


                Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang gue lontarkan. gue meluk Rissa erat dan hendak menepuk-nepuk punggungnya. Setelah itu gue pergi meninggalkan Rissa dan Agung berdua di Taman. Ga jauh gue pergi dari situ. Terdengar jelas ada seseorang yang manggil nama gue. 

    “Ditaaaa..”

    Gue nengok ke arah datangnya suara itu. Gue liat yang manggil gue itu Rissa. Gue langsung hapus air mata gue yang ada di pipi gue. Gue ga mau keliatan cengeng di hadapan dia. Gue harus tegar. Rissa mendekat dan menyeret gue ke ke tempat semula pertemuan antara gue, Rissa dan Agung.

    “Dit, kenapa lo ngerelain dia buat gue?”

    “Lo kan pernah cerita kalau lo suka banget sama orang yang namanya Agung. Dan inilah orangnya. Gue ga mau persahabatan kita ancur.”

    “Lo bener, gue emang suka sama dia. Tapi kata suka itu menjadi PERNAH suka. “

    Gue bingung dan terlihat aneh saat itu. Gue ga ngerti apa yang dibicarain sama Rissa. Gue liat Agung juga cuma diem, bingung. Rissa yang bisa nebak kalau gue saat itu emang bener-bener bingung dan ga ngerti, Rissa meneruskan perkataannya untuk memperjelas.

    “Dulu, emang gue pernah suka sama dia. Tapi sekarang, kayanya engga Dit.”

    “Kenapa?” potong gue.

    Lalu ada seorang cowok keren mendekat ke arah dimana adanya konflik diantara kami bertiga. Dia tepat senyum ke arah Rissa. 

    “Ini cowok gue. Gue sayang banget sama dia” Rissa memperkenalkan cowok keren itu.

    “Hei, gue Nino.” katanya sambil menyodorkan tangannya. Gue sambut ramah.

    “Dita, dan itu Agung” jawab gue. Dan sekalian memperkenalkan Agung yang masih duduk membeku di kursi Taman. Ternyata, itu Nino ketua Osis di sekolah gue.

    “Nah, sekarang lo sama Agung resmi jadian” dia membangunkan Agung yang duduk dan mendekatkannya ke gue. Dia tarik tangan gue dan tangan Agung. Hingga akhirnya tangan gue berpegangan sama tangan dia. Gue tengok ke samping, tepat mata Agung. Dia pun sama, sampai mata gue dan mata dia menatap tepat lingkaran hitam bola matanya. Gue dan dia tersenyum manis berbarengan. Karena akhirnya, kenyataan menjawab khayalan gue :)Kenalin, gue Dita, gue duduk di kelas XI. SMA Bumi Indah tepatnya,  gue kini menjadi anak Ipa2. Saat kelas X, gue duduk di kelas X5 yang akhirnya  gue mesti pindah ke kelas X8.  Itu membuat gue sedikit kecewa karena gue udah mulai terbiasa deket sama anak- anak kelas X5. Saat gue duduk di kelas X5, gue sering banget cerita cerita sama temen sebangku gue, Rissa namanya. Bisa dibilang dia  sahabat gue. Dia orangnya baik, periang pula. Dari hal yang kecil sering banget gue curhat sama dia. Saat itu..



    “Gimana, di sekolah kita, lo suka sama siapa Dit?”  tanyanya penasaran.

    Gue hanya tersenyum,

    “Hey, ditanya malah senyum-senyum ga jelas.” Pintanya seraya jawabanlah yang ingin dia dengar bukan isyarat senyuman yang gue tunjukkin ke dia.

    “Masih sama” jawab gue singkat. Sepertinya Rissa agak terlihat sedikit bingung dengan jawaban gue tadi. “Perasaan gue masih sama pada saat gue cerita sama lo tentang siapa orang yang gue suka.” jawab gue memperjelas, tapi masih tak menyebutkan namanya.

    “Rangga?” suaranya keras, mungkin hampir memecahkan suasana. Dia yakin sekali dengan jawabannya. Ya, Rangga. Seorang kakak kelas yang cool.

    “Ih, berisik lo, ntar gimana kalau ada yang denger!” tangan gue membungkam mulutnya.

    Dia mengangguk, dan memberi isyarat untuk melepaskan tangan gue dari bungkamannya. “Nah terus, sekarang lo suka sama siapa?”  tanya gue membalas pertanyaan yang sempat tadi lontarkan, dan sekarang giliran gue. 

    “Lo tau ga yang namanya Agung, kelas X1. Lucu banget tau, gue suka sama dia sekarang. Lo tau kan orangnya yang mana?”

    “Engga,” jawab gue datar singkat dan jelas banget.

    “Ah, lo udah gue cerita, lo malah bilang ga tau dengan wajah yang tanpa dosa kaya gitu” protesnya disertai dengan wajah yang cemberut dan tanpa gairah.

    “Lah, emang gue ga tau Riss”

    “Ya udah, ntar gue tunjukkin deh orangnya ke lo. Gimana?”

    “Iya iya”


                Sayangnya, sebelum Rissa menunjukkan mana orang yang bernama Agung tersebut, gue udah dipindahin ke kelas X8. Karena itu berarti, kemungkinan gue ketemu sama Rissa udah jarang dan mungkin acara curhat-curhatan gue sama dia selama ini ga akan berjalan normal seperti saat itu. 

    ***           
    Waktu emang ga kerasa banget yang gue rasain sekarang, waktu seperti petir yang menyambar dengan seketika. Gue udah kelas XI. 


                “Itu siapa? Perasaan gue ga pernah liat. Anak baru ya?”  tanya gue ke salah seorang temen gue. Gue udah lupa sama Rangga yang ga pernah tau dan mungkin ga penting keberadaan gue di hidupnya.


                “Ah, engga juga ko. Tapi gue ga tau siapa namanya”  jawabnya.


                Mungkin itu pertanyaan bodoh yang hanya untuk mengenal dan mengetahui namanya. Dan mungkin pula gue suka sama dia. Dan sialnya, temen gue juga ga tau siapa nama dia. Tapi dikatakan dengan suka selewat saja, karena perasaan gue saat itu ke dia, hanya datang tiba-tiba dan pergi pun tiba-tiba. Tapi, semua berubah saat gue pernah berdiri deketan sama dia di Koperasi sekolah. Gue rasa ada yang beda dari dia. 


                Hari demi hari, gue pun akhirnya tau kelasnya, XIA5. Tapi, tetep gue belum tau siapa namanya. Gengsi dong kalau gue tanya langsung, gue kan cewek. Dan akhirnya gue punya ide buat nanyain namanya lewat temen gue yang kebetulan juga duduk di kelas yang sama kaya dia, Tia.

    ***           
     “Hm, Ti, itu siapa?” tanya gue penasaran sambil menunjuk ke arah cowok yang gue maksud.


                “Hayo, kenapa suka ya?” 


                “Suka? Ah engga,”

    “Ya udah sih, ngaku aja. Kayak ke siapa aja pake acara rahasia segala”

    Gue ga jawab, tapi gue cuma senyum.


                “Namanya Agung” bisiknya.


                Gue terdiam, gue ngerasa nama itu pernah terngiang di telinga gue. Tapi kapan? Seolah namanya udah familiar gue denger. Sampai akhirnya gue inget, bahwa cowok yang dimaksud Rissa adalah dia. Gue masih diam, membisu dan kaku. Tia yang aneh ngeliat gue kaya gitu, nepuk-nepuk bahu gue. 


                “Namanya Agung, ada yang salah?” dia mengulang sekali lagi.


                Gue menggeleng pelan, “Ga ada yang salah dengan nama itu, tapi kayanya hati gue yang salah milih”


                “Maksud lo?” tanyanya heran.


                “Gue jahat kayaknya kalau gue suka sama dia”


                “Kenapa? Rasa suka itu kan wajar”


                “Tapi, temen gue juga pernah suka sama dia”


                “Mungkin sekarang udah engga”


                “Tapi, tetep aja gue ga enak sama dia”

    ***


                Ternyata, rasa itu emang ga akan pernah bisa bohong siapa pun dia, ga akan pernah bisa ngehalangin yang namanya suka. Dan itu berlangsung lama, entah sampai kapan gue bisa ngilangin rasa suka gue ke dia. 


                Sepertinya dia udah ngerasa GR dengan keberadaan gue yang ga bisa nahan rasa salting gue di depan dia. Dan itu membuat gue merah kaya tomat, mungkin lebih tepatnya mirip kaya tomat mateng yang hampir membusuk. Setiap dia hadir di hadapan gue, gue selalu pengen senyum-senyum ga jelas sendiri. Dan satu hal lagi, saat setiap gue nginget dia, gue juga selalu selalu ngerasa bersalah, karena dia adalah orang yang dimaksud dan diceritakan oleh sahabat gue, Rissa. Kadang, gue juga sering marah sama diri gue sendiri, kenapa gue bisa sampai suka sama itu orang. Yang gue takutin saat ini, yaitu dia tau tentang perasaan gue ke dia bahkan yang lebih gue takutin lagi yaitu dia sampe nembak gue.

    ***           
    Saat gue terdiam duduk di bangku yang tersedia di depan kelas gue, tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang datang menghampiri gue. Gue kaget pas gue nengok ke arah datangnya laki-laki tersebut. Dia ternyata, Agung. Gue bingung, dan otomatis gue juga mendadak salting. Gue berusaha buat nutupin rasa salting gue yang amat sangat buat gue malu kalau ketauan sama dia. Disitu, gue terus diem. Sampai-sampai dia yang pertama memecahkan keheningan suasana waktu itu.


                “Hei,” sapanya


                “Hei juga” jawab gue singkat. Gue pura-pura sibuk dengan handphone yang gue pegang. Karena disitu, gue bingung mesti ngapain.            
    Percakapan antara gue sama dia singkat banget. Dia pergi sama temennya yang kebetulan sekelas sama gue, dan kata terakhir sebelum dia pergi ninggalin gue “Gue cabut dulu ya” ucapnya. Gue mengangguk dan tersenyum.           
    Gue langsung masuk ke kelas dan berteriak saking senengnya. Tapi, setelah gue ngeluarin rasa seneng gue dengan berteriak, gue langsung mendadak mikirin Rissa. Rissa, sahabat gue yang juga suka sama dia.
    ***           
    Kesini-kesini rasanya ada yang tampak berbeda dengan kelakuan dia. Sampai di sms pun pesannya memberikan perhatian yang selalu buat gue lompat-lompat. Ya, entah dari mana dia dapet nomor gue, mungkin dari temennya yang sekelas sama gue, Dika. 


                Lama kelamaan gue deket sama dia. Mungkin hanya dibutuhkan satu langkah lagi untuk bisa milikin dia. Di sisi lain, gue seneng bisa deket sama dia, bisa smsan, bercanda. Tapi, di sisi lain pula gue ngerasa bingung dengan diri gue sendiri. Apakah gue mesti tetep deket sama dia atau gue mesti cuek sama dia demi Rissa? Gue bingung saat-saat gue mikirin akan hal itu.


                            ***             
    Hal yang gue bener-bener takutin saat ini terjadi. Agung nembak gue, dan ini berarti gue harus bener-bener mutusin dengan benar agar semuanya ga jadi hancur, termasuk persahabatan gue sama Rissa.
    (ShortMessageService)

    Agung
    Ada yang mesti gue omongin sama lo

    Dita
    ya udah ngomong aja Gung, ada apa?

    Agung
    Gue suka sama lo Dit, hehe 

    Dita
    Lo ga salah ketik tuh Gung?
    Agung

    Engga, terus gimana jawabannya, lo mau ga jadi pacar gue?


                Gue bingung, gue nangis, gue ga tau apa yang mesti gue perbuat. Hati gue pengen jadi pacar dia tapi gue juga ga mau persahabatan gue sama Rissa jadi hancur hanya karena seorang cowok. Sampai akhirnya gue mutusin buat ga bales SMS dari dia gue takut salah ngomong. Toh, gue ga punya jawaban buat dia.


                Agung terus SMS gue buat bales pesan dari dia. Gue tetep ga bales gue masih tetep nangis sambil meluk boneka Beruang kesayangan gue. Sampai pada akhirnya SMS dia yang terakhir buat gue adalah..

    Agung
    Kalau emang gue salah dengan cara gue nembak lo dan bikin lo ilfeel sama gue, gue minta maaf dan gue janji, gue ga bakalan masuk ke dalam kehidupan lo lagi. Thanks ya Dita 


                            Gue ngerasa bersalah. Gue pikir-pikir gimana semuanya biar berjalan lancar. Sampai otak gue hampir copot gra-gara mikirin sebuah ide cemerlang. Gue bales sms dia. 

    Dita
    Gue, bakalan jawab. Lo datang ke taman sekolah, besok sepulang sekolah

    Agung
    Okay 


                 Setelah percakapan gue dan Agung berakhir malam itu, gue langsung ngirim pesan ke Rissa.

    Dita
    Hai, Rissa, besok gue tunggu lo di taman sekolah ya pulang sekolah

    Rissa
    Emang ada apaan?

    Dita
    Penting pokoknya lo mesti datang. Kalau engga, kita musuhan -_-

    ***


                Keesokan harinya, setelah bel pulang berdering. Gue keluar kelas dengan langkah yang super pelan. Ditambah rasa deg-degan gue yang mungkin jantungnya hampir copot. Disana gue lihat dua orang yang sedang duduk di bangku taman sekolah. Gue yakin seyakin-yakinnya bahwa itu adalah Rissa dan Agung. Duduk berduaan dengan Agung di bangku taman sekolah adalah kesempatan buat Rissa. Dan setelah gue mendekati mereka, ternyata mereka adalah Agung dan Rissa. Gue berdiri tegak tepat di tengah-tengah hadapan mereka. Mereka terbangun.


                “Dita, ada apa nyuruh gue kesini?” sapa dan tanya Rissa, gue cuma bales dengan senyuman.


                “Gimana jawabannya?” tanya Agung. Rissa terlihat kaget dan bingung dan spontan menoreh ke wajah kami berdua. Gue masih terdiam, mata gue berair. Dengan hitungan detik pun mungkin siap untuk menetes.


                Gue bales pertanyaan mereka berdua dengan jawaban yang sama yaitu air mata. Menetes. Gue fokusin mata gue, tepat ke arah titik sinar fokus mata Agung seraya berkata “Dia yang selama ini suka sama lo”. Agung seolah heran dengan perkataan gue tapi, belum aja Agung ngerespon dengan mengucap satu kata, gue langsung ngomong “Lo bisa kan belajar sayang sama dia seperti lo belajar sayang sama gue.”


                Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang gue lontarkan. gue meluk Rissa erat dan hendak menepuk-nepuk punggungnya. Setelah itu gue pergi meninggalkan Rissa dan Agung berdua di Taman. Ga jauh gue pergi dari situ. Terdengar jelas ada seseorang yang manggil nama gue. 

    “Ditaaaa..”

    Gue nengok ke arah datangnya suara itu. Gue liat yang manggil gue itu Rissa. Gue langsung hapus air mata gue yang ada di pipi gue. Gue ga mau keliatan cengeng di hadapan dia. Gue harus tegar. Rissa mendekat dan menyeret gue ke ke tempat semula pertemuan antara gue, Rissa dan Agung.

    “Dit, kenapa lo ngerelain dia buat gue?”

    “Lo kan pernah cerita kalau lo suka banget sama orang yang namanya Agung. Dan inilah orangnya. Gue ga mau persahabatan kita ancur.”

    “Lo bener, gue emang suka sama dia. Tapi kata suka itu menjadi PERNAH suka. “

    Gue bingung dan terlihat aneh saat itu. Gue ga ngerti apa yang dibicarain sama Rissa. Gue liat Agung juga cuma diem, bingung. Rissa yang bisa nebak kalau gue saat itu emang bener-bener bingung dan ga ngerti, Rissa meneruskan perkataannya untuk memperjelas.

    “Dulu, emang gue pernah suka sama dia. Tapi sekarang, kayanya engga Dit.”

    “Kenapa?” potong gue.

    Lalu ada seorang cowok keren mendekat ke arah dimana adanya konflik diantara kami bertiga. Dia tepat senyum ke arah Rissa. 

    “Ini cowok gue. Gue sayang banget sama dia” Rissa memperkenalkan cowok keren itu.

    “Hei, gue Nino.” katanya sambil menyodorkan tangannya. Gue sambut ramah.

    “Dita, dan itu Agung” jawab gue. Dan sekalian memperkenalkan Agung yang masih duduk membeku di kursi Taman. Ternyata, itu Nino ketua Osis di sekolah gue.

    “Nah, sekarang lo sama Agung resmi jadian” dia membangunkan Agung yang duduk dan mendekatkannya ke gue. Dia tarik tangan gue dan tangan Agung. Hingga akhirnya tangan gue berpegangan sama tangan dia. Gue tengok ke samping, tepat mata Agung. Dia pun sama, sampai mata gue dan mata dia menatap tepat lingkaran hitam bola matanya. Gue dan dia tersenyum manis berbarengan. Karena akhirnya, kenyataan menjawab khayalan gue :)

    0 komentar

  • Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    BBS FAJAR SHOBIH™ Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan