• semunya bayangmu


    awal aku bertatap tiada yang mengagumkan darimu.
    tapi kini kau buat aku tak mampu berkata..
    karena hangatnya senyumanmu di setiap detik hidupku
    kau yang slalu ada di sisiku kala aku menangis dan tertawa.

    tapi hal yang paling aku sesali selama ini.
    kau tak pernah berkata cinta padaku..
    hanya harapan kosong yang kau berikan..
    ya..harapan yang di sertai tangisan dariku karna tak terbalasnya cintaku..




    dengarlah, aku hanya ingin kau tahu ..
    aku mencintaimu..
    tak pernah ku lihat kekuranganmu..
    kau slalu sempurna di hadapku..

    tapi sampai akhir hayatpun kala tuhan tak mengizinkan..
    apalah daya dari manusia kecil sepertiku..
    aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan.
    atau bahkan aku hanya bisa diam tanpa daya..

    tapi kini telah terlambat jika ku ungkapkan kata cintaku.
    karena kau telah pergi jauh dari hidupku..
    kini hanya tinggal tangisan ..
    dan serpihan masa lalu kita yang pahit..

    0 komentar

  • Safira Kau Tetap Sempurna Bagiku


    Setahun yang lalu hingga saat ini, adalah hal yang paling berat dalam hidupku yang pernah aku jalani. Hubungan jarak jauh antara aku dengan Safira terpaksa kujalani. kalau bukan karena tuntutan kerja, dan jika bukan karena bujukan Safira agar aku menerima promosi ini, mungkin aku akan mencari pekerjaan lain diluar sana. asalkan aku tidak berada jauh darinya. sungguh sangat sulit rasanya jauh dari orang yang sangat kita cintai, seberapapun dan sesering apapun kau bicara dengannya lewat telfon. masih banyak perusahaan kontraktor lain di Indonesia yang tak berfikir panjang untuk mempekerjakanku. Tapi kupikir, posisi yang aku dalami sekarang ini pasti bisa melejit lebih cepat dari yang orang bayangkan.


    Safira, waktu memang berlalu sangat cepat- bagi mereka yang tak mengidap kerinduan. namun waktu bagiku sangatlah berarti, setiap waktu luangku mana mungkin aku lupa begitu saja padamu. lewat telfon; ku tanya kau sedang apa dan dimana-meskipun menit terkadang tak berpihak padaku lebih lama. lewat pesan; ku kirimkan kau kata-kata manis menjelang malam dan pagimu. syukurlah teknologi skype membantu kita untuk bertatap muka, senang rasanya bisa melihat wajahmu yang semakin cantik, aku semakin rindu setiap kali menatap matamu yang begitu indah, dan suaramu yang sampai detik ini tak pernah terdengar merdu-masih serak basah.

    Malam setelah kelelahan ku istirahatkan dengan secangkir coklat hangat, seperti biasa aku duduk di depan laptopku. tentu saja menunggumu online di skype. ada sebuah kejutan yang sudah tak sabar ingin aku kabarkan padanya. dan ketika kudengar nada video call dari skype-ku menjingkrakkanku, aku langsung memasang wajah paling tampan begitu kulihat senyuman indahmu melebar di layar desktop.

    "Lulabi...lulabi...honey bunny sweety!!!" itu kalimat pertama yg ku utarakan dengan nada memanja. Dan seperti biasa, ia selalu tertawa setiap aku melafalkannya. 

    "Hei, kamu tahu? hari ini aku belajar memasak spagetti. dan kamu tau hasilnya?" ia menunjukkan jari telunjuknya yang berbalut Hansaplast. "telunjukku koyak, ahahahahah"
    "Pasti nangis kesakitan?" tanyaku sedikit cemas 

    "Yieee anak kecil kalee kalau begini aja udah nangis." lagi-lagi Safira menunjukan tawanya yang khas, aku suka cara ia menarik nafasnya saat tawanya menggelegak, aku rindu akan itu. tapi sepertinya lelucon kali ini tidak selucu biasanya.
    "Lalu? ada kabar terbaru apa, pejantanku?" 

    Aku menarik nafasku, setidaknya aku terlalu bahagia dengan kabar ini. "besok sore, aku akan ada di Jakarta.AKU AKAN PULANGGG!!!" aku berteriak girang, sama girangnya dengan reaksi Safira di balik layar itu.
    "Seriuss?!" 

    "iya bener,proyek sudah selesai. dan besok jam 10 pagi pesawatku berangkat dari Bandara Polonia, kemungkinan jam 11.30 sampai Jakarta."
    "Oya? alhamdulillah, aku benar-benar senang mendengarnya. dan sepertinyaaa aku harus siapin kejutan buat kamu. kamu suka surprise??" 

    "yaa, aku cuma ingin kita ketemuan di Cafe tempat biasa kita bertemu. begitu aku sampai jakarta, aku akan langsung kesana. kita makan siang bersama." 


    "Aku suka itu." ujarnya senang. "sungguh, Van... aku benar-benar kangen sama kamu. dan aku..."
    "Udah gak sabar pengen lihat aku kan?" kataku memotong kalimatnya. tapi dia malah tertawa





    Aku terus bercerita dengan Safira sampai hampir lebih satu jam, bercerita tentang masa depan, tentang masa lalu yang kami lalui dengan cara yang berbeda-beda. namun kau tetap menyimpan rahasiaku, karena aku harus memastikan bahwa besok adalah hari dimana aku akan membuat ia merasa sebagai wanita paling berharga.

    aku akan melamarnya.

    Pukul 8.30 WIB
    Pagi di lokasi proyek, aku harus berjibaku dengan waktu. bukan untuk mempersiapkan keberangkatanku, tapi menyelesaikan masalah kerusuhan yang terjadi antara masyarakat, kontraktor dan pemilik pabrik kimia yang kami kerjakan. Hingga sampai saat ini masyarakat belum menyetujui pembangunan pabrik tersebut, dan akan terus menimbulkan kerusuhan jika pihak Kontraktor dan pemilik tidak memenuhi keinginan mereka. 


    aku tak tahu lagi harus bagaimana, baru kali ini dalam sejarah pekerjaanku, aku menghadapi situasi tersulit, kerusuhan dimana-mana, lemparan bertubi-tubi dari masyarakat, dan makian berselimut amarah. mereka begitu kuat jumlahnya, bahkan aparat kepolisianpun hampir tidak sanggup menghentikan kericuhan itu sampai sore hari. 


    Kamipun mengalah, dan mau tidak mau harus membuat pengumuman bahwa dalam waktu 3 kali 24 jam semua tuntutan mereka akan terpenuhi. dan sepertinya aku harus tinggal di tempat ini lebih lama lagi setidaknya empat hari kedepan sampai semua masalah benar-benar beres.


    Dan Safira, ASTAGA! bagaimana bisa aku melupakannya! seharusnya aku memberi dia kabar atas pembatalan kepulanganku. ya ampun, dia pasti sangat kecewa padaku. aku tidak tahu harus memulai kata dari mana saat aku mulai menekan nomor hendphone-nya di ponselku.
    "nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, atau berada di luar jangkauan. silahkan tinggalkan pesan."
    "Kenapa enggak aktiffff....sayangggggg" gerutuku cemas. 


    Aku terus mencoba untuk menghubunginya, namun berpuluh-puluh kali usaha yang kulakukan tetap saja tidak menghasilkan jawaban apa-apa. Safira pasti marah, dia pasti sangat kecewa kepadaku. sebesar apapun cintanya kepadaku, sanggupkah bila ia harus sekecewa ini kepadaku? dengan cara apapun aku menghibur diriku dengan pekerjaan aku tetap tidak bisa tenang memikirkan Safira. Aku coba menghubungi keluarganya terutama ibu Safira, tapi telfonku tak pernah diangkat. Tiga hari berlalu, selama itu aku terus mencoba menghubungi orang-orang terdekatnya, tapi entah kenapa tak satupun dari mereka yang bisa ku hubungi. Astaga!! barangkali aku tak pernah berpikir tentang teman-temannya. yah, selama ini aku terlalu percaya pada Safira dan keluarganya hingga aku tidak butuh contact teman-teman terdekatnya. 


    ku pastikan pekerjaanku selesai hari ini juga, agar besok aku bisa pergi dari tempat yang memenatkan ini. setiap malam sebelum tidur, aku berdoa agar kecemasanku ini tidak berarti buruk. ku pandangi dengan cara yang hening cincin lamaran yang akan aku sematkan di jari Safira, aku bisa membayangkan ia akan melompat girang dengan caraku memasangkan cincin itu di jarinya. atau mungkin ia akan menangis terharu lantaran bahagia. Aku ingin ekspresi itu, ekspresi cinta yang mendalam antara aku dan dia.

    27 Novemberr 2011
    Aku kembali ke Jakarta. Meski hingga detik ini aku belum mendapatkan kabar dari Safira, aku yakin kepulanganku hari ini akan membuat dia terkejut. anggap saja ini surprise. begitu sampai rumah, ku sapa ibu dan keluargaku dengan penuh kehangatan. kemudian aku pergi tanpa harus mempersiapkan diri. begitu aku telah tiba di depan rumah gadisku, Astagaaaa bagaimana bisa aku jadi merasa seperti baru mengenal rumah ini. bahkan lebih menegangkan daripada saat aku menembak Safira tiga tahun yang lalu. 


    ku ungkap segala keberanian mengucakan salam, tak lama dari balik pintu itu kulihat mbak Niar muncul, dengan ekspresi keterkejutan dan penampilan yang sangat berantakan.
    "Evan?!" tanyanya terkejut. apa aku seperti hantu? pikirku.
    "Aku mau ketemu sama Safira, mbak. apakah dia baik-baik saja? kenapa aku tidak bisa menghubunginya?" 


    perempuan itu diam. aku tidak tahu apakah itu suatu pilihannya untuk mengacuhkanku? aku ingin ikut diam, tapi yang kudengar malah suara tangisan dari dalam sana. sebuah suara yang terdengar semakin mengisak, sebuah suara yang sangat ku kenal. aku terhenyak, kemudian dengan cepat menerobos mbak Niar dan masuk kedalam kamar Safira. aku takut sesuatu terjadi padanya, jantung ku seolah berdegup cepat. aku hendak membuka pintu kamarnya, namun mbak Niar menarik tanganku dengan sangat kuat. menghalagiku. 


    "Mau apa kamu?!" tanyanya cetus.
    "aku mendengar Safira menangis, aku harus tahu apa yang terjadi padanya."
    "Kau harus tahu atau kau harus tak mau tahu?" demi Tuhan tak pernah sekalipun aku mendengar wanita ini membentakku begitu keras. aku sampai hilang kata-kata membisu. lalu samar-samar ku lihat ada air mata mengalir dari sudut matanya. kini aku mendengar dua suara tangisan. 


    "Apa yang terjadi mbak?" aku mulai merasakan sesuatu memang sedang terjadi disini. tapi mbak Niar tak memberi jawaban. Aku bersikeras, dan masuk melalui pintu yang terasa sangat berat.
    akupun melihatnya, dan sekujur tubuhku terasa lumpuh, darahku tiba-tiba memacu dengan sangat deras, membisu, dan seketika itu juga menangis dan berlutut di hadapannya yang sedang meringkuk kesedihan. 


    "Ia menunggumu di Cafe itu, hari dimana kamu berjanji untuk pulang." suara mbak Niar terdengar parau, sedangkan aku masih berlutut di hadapan Safira yang meringkuk sambil menangis seolah tak ingin menerima semua ini. 


    "lalu musibah terjadi, Cafe itu terbakar dan meledak sehingga pecahan kaca mengenai matanya, dan lihatlah kondisinya sekarang" inikah yang kutakutkan? "seharusnya semua ini tidak terjadi jika seandainya kamu pulang." 

    Safira Buta? ya Tuhannn aku bisa melihat mata dibalik balutan perban itu amatlah pedih. ini salahku, ini mutlak adalah kesalahanku. aku yang membuat gadis dihadapanku ini kehilangan penglihatannya, matanya yang dulu indah. 


    ku coba untuk meraihnya, ku coba untuk memeluknya dan memohon maaf. namun sepertinya tindakanku malah semakin membuat ia depresi.aku mengerti jika ia marah, seandainya aku tidak melupakannya, semua ini pasti tidak akan terjadi.Safira pasti masih bisa melihatku datang, melihat rambutku dan janggutku yang sudah sangat rapi seperti apa yang ia inginkan, melihat betapa rindunya aku pada senyumannya,dan melihat betapa indahnya cincin yang aku bawakan untuknya.
    Hingga akhirnya akupun berhasil merengkuhnya dalam pelukanku. ia menangis, tapi aku lebih merasakan tangis teramat pedih. bayangkan jika hal ini terjadi padamu, jika orang yang kau sayangi menderita akibat kebodohanmu sendiri. 


    "Maafkan aku sayang... aku benar-benar sangat menyesal. mulai saat ini, kau tidak perlu memintaku untuk berjanji lagi. aku akan bersumpah sampai darahku habis, kau akan tetap ku jadikan kekasih."


    Sebulan kemudian...
    Aku berhasil menduduki jabatan sebagai Manajer Teknik. semuanya berubah drastis. Dan di hari pertamaku memasuki ruang kantor baru, aku harus mempersiapkan diriku sebaik mungkin. Safira ada disampingku, mendampingiku dan tetap mendukungku. kulihat ia memilihkan dasi untukku, kemudian mendekat dan meraba dadaku dengan penuh kelembutan. Meraih kerah bajuku lalu menyisipkan dasi berwarna hijau muda. Kulihat ia sangat berhati-hati mengikatkannya dengan senyuman yang masih terlihat indah bagiku. 


    "Apa warna kemejamu?" tanyanya padaku.
    "Kamu yang memilihkan kemeja ini, warnanya secerah senyummu. Biru langit."
    "Bagaimana dengan dasinya?" tanyanya lagi sembari ia masih berusaha mengikat.
    "Hijau muda"
    "Astagaaa!!! aku salah memilih dasi, seharusnya hitam atau garis-garis. Kamu harus membantuku mencariny." kutahan tangannya saat ia hendak menarik kembali dasiku.
    "Jangan!" kataku."ini adalah pilihanmu, aku tidak mau menukarnya dengan dasi yang lain. teruslah mengikat." 


    ia tersenyum walaupun tetap menggerutu. ia begitu ikhlas melayaniku, ia tahu aku sangat menyayanginya, dan ia mungkin tahu dasi yang ia pasangkan tidaklah rapi. tapi aku akan tetap seperti ini untukmu. kucium kedua matamu yang gelap, tapi aku yakin cinta kita berdualah yang akan memberikan sinar pada penglihatanmu. Kau adalah istirku yang terbaik dan kau tetaplah istri yang sempurna bagiku.

    0 komentar

  • NAMAKU SUDAH MATI


    Gubrakk!!!
    Suamiku membanting pintu gubuk. Hampir saja pintunya copot. Kemudian ia pergi, lari entah kemana. Aku tahu dia sakit hati. aku mengerti kekecewaanya terhadapku. Tapi ini adalah pilihan.Aku sudah bosan hidup seperti ini terus. Mengais- ngais rezeki yang terus- terusan nihil. Tanpa ada hasil jelas.
                  Evi―anakku yang masih berumur enam tahun, menangis disudut tempat tidur busuknya.Merapatkan kaki kedada, mengisak- isak tangis minta dikasihani. Kututup pintu rapat- rapat.Kemudian tanpa memperdulikan anak semata wayangku, aku mengambil tas besar yang aku guris dari tong sampah rumah orang kaya beberapa bulan lalu. kelihatannya masih bagus, hanya resletingnya saja yang rusak. Dan aku sudah menjahitnya hingga tampak layak pakai lagi.
                  “Mau kemana, Ma? Tanya Evi sambil mengusap- usap air matanya. Membentuk garis liku- liku di pipi kotornya. Rambut panjangnya tak terkucir rapi seperti tadi pagi.
                  Aku membuka lemari yang hampir ambruk. Aku harus pelan- pelan mengambil beberapa baju yang ada disitu, atau lemari itu bisa saja menimpaku seperti kejadian seminggu yang lalu. Aku sudah minta Firman untuk memperbaikinya, tapi dia malah terlalu sibuk dengan pekerjaannya yang tak jelas di TPS.
                  Mama mau pergi!” Jawabku singkat. Evi mendekatiku, menarik- narik rokku hampir terlepas.
                  “Evi ikut sama mama. Evi gak mau ditinggal sedirian.
                  Lantas aku tersenyum.Membungkukkan badan seraya memegang bahu mungil anakku.
                  “Kalau gitu, bantuin mama masukin bajumu kedalam tas, ya?” Diapun bergegas mengambil baju- bajunya kemudian ikut menyusunnya ke dalam tas. Anak perempuan berumur empat tahun itu lugas sekali. Sangat semangat untuk ikut bersamaku. Meskipun ia belum tahu, kemana tujuanku sebenarnya.
    Setelah semuanya beres, aku dan Evi keluar dari dalam gubuk bau ini. Merayap ke tengahkota guna mencari sesuatu yang sempat hilang dari kehidupanku dulu.

      

    Panas terik matahari ini tak dapat lagi membuatku merasakan perih membakar kulit. Setiap butiran debu kasat mata menempel di pelipis berminyakku. Serasa aku sudah akrab dengan panas. Iabagaikan udara segar bagiku. Yah… siapa tahu dengan begini aku juga bisa jadi terbiasa dengan panas neraka, sehingga kelak aku tak perlu menjerit-jerit disana. Namun tak seharusnya aku melibatkan Evi.
                  Dibalik dinding tembok pagar sebuah rumah mewah yang dulunya adalah tempat tinggalku ini aku bersembunyi. Mengintai dari luar untuk melihat keadaan rumah tersebut. Ku gandeng erat-eraat tangan anakku yang kurus dan hangat. Mungkin ia bingung apa yang sebenarnya dilakukan oleh ibunya di tempat seperti ini setelah bertengkar dengan ayahnya dan pergi dari rumah karena tidak tahan dengan kehidupan yang selama ini serba melarat.
                  Evipun mendongakkan kepalanya lantas bertanya padaku. “Kita ngapain sih, ma? Disinikan panas…” Eluh Evi seraya menutup kepalanya dengan sapu tangan usang. Aku terpaksa tersenyum untuk membuat hatinya tidak bingung dan bersikap tenang.
                  “Sabar ya, nak? Sebentar lagi kamu akan ketemu dengan nenek kamu.” Dan aku dapat melihat wajah girang dan senyuman lebar dari bocah mungil ini.
                  “Nenek? Evi pengen ketemu sama nenek, ma… Evi pengen punya nenek.” Katanya girangtak sabar ingin bertemu dengan neneknya yang selama ini tak pernah kuperlihatkan padanya. Karena neneknya yang sebenarnya itu sudah hampir empat tahun tidak menjadi ibuku akibat kebodohanku sendiri
                  Aku jadi ingat saat aku masih berumur 17 tahun, saat itu aku masih duduk di kelas duaSMA. Masa-masa remaja yang terlalu bebas bagiku. Jatuh cinta dengan seorang pria yang juga sangat mencintaiku namun akhirnya berujung penyesalan. Pria itu bernama Firman, sampai sekarangia masih suamiku. Namun baru dua jam yang lalu aku memutuskan untuk berpisah dengannya.
    Selama aku dan Firman berpacaran, orang tuaku tidak pernah setuju dengan hubungan kami.Karena Firman adalah anak yang berasal dari keluarga miskin dan tidak jelas statusnya. Sedangkan aku berasal dari keluaga yang bisa dibilang kaya dan cukup ternama. Papa dan Mama selalu menuruti setiap keinginanku. Aku sadar mereka sangat sayang padaku.
                  Mama memang tidak salah berbicara seperti itu padaku. Karena dia adalah ibu yang sangat baik juga perhatian pada anak gadisnya. Ia ingin melihat aku bisa sukses, menjadi gadis yang kelak bisa berhasil dan membanggakan keluarga. Setiap hari mama tidak pernah lupa memberiku pesan-pesan positif. Tapi terkadang aku mengabaikannya begitu saja. Aku terlalu terlena dengan masa muda.
                  Tingkahku semakin menjadi-jadi ketika tahu bahwa hubunganku dengan Firman tidak disetujui oleh orang tuaku. Meskipun Firman adalah orang miskin, tapi aku tahu dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab dan pasti bisa berubah menjadi orang yang berhasil, karena dia adalah anak yang baik dan pintar. Namun, hal yang tidak diinginkan terjadi. Aku hamil diluar nikah diusiaku yang masih belia.
                  Aku sangat menyesal saat itu, tak tahu lagi apa yang harus ku lakukan dan apa yang akan aku katakkan pada orang tuaku. Sudah pasti aku akan mempermalukan keluargaku yang selama ini sudah mendidikku baik-baik. Atau mungkin saja aku akan diusir oleh mereka karena perbuatanku yang sungguh memalukkan. Sungguh aku tak ingin membuat mama kecewa atau membuatnya sedih.Akhirnya dengan terpaksa aku meninggalkan pesan lewat surat dan pergi meninggalkan semua yang aku miliki selama ini disaat usia kandunganku 3 bulan. Akupun pergi sejauh mungkin dari rumah dan menikah dengan Firman. Kami berdua terpaksa putus sekolah karena harus menghidupi keluarga.
                  Kami terpaksa menjadi pekerja kasar karena pendidikkan yang tidak memadai. Akupun ketularan menjadi pemulung seperti Firman. Dan sejak itu juga, aku tidak pernah bertemu dengan keluargaku lagi.
                  Namun beberapa bulan kemudian, tanpa disengaja aku bertemu dengan Rena, orang yang sempat menjadi sahabatku dulu. Jelas dia sangat terkejut melihat keadaanku saat itu.  Ia meminta dan memohon padaku untuk kembali bersama orang tuaku, dia bilang mama sampai sakit karena memikirkan nasibku yang tidak ada kabarnya sama sekali. Aku tahu Rena benar, tapi saat itu aku punya komitmen, untuk tetap pada pendirianku. Hidup bersama lelaki pilihan.
                  “Aku tidak bisa, Ren… aku sudah terlanjur malu dengan keluargaku. Mereka pasti tidak mau menerimaku lagi sebagai anak. Apa kau tidak lihat keadaanku sekarang? Mau ditaruh dimana mukaku?” Kataku sambil menangis dihadapan Rena saat itu.
                  “Enggak, Sis… mereka masih sayang sama kamu. Pulanglah… kasihan mama kamu. Dia sangat rindu dengan anak perempuannya.” Pinta Rena memohon. Namun aku tetap bersikeras tidak ingin kembali kerumah, walaupun sebenarnya aku ingin sekali. Jujur, hatiku bimbang saat itu.
                  “Aku sudah punya anak, Ren. Dan aku harus bertanggung jawab dengan keluargaku.Mereka pasti tidak mau menerima Firman sebagai suamiku. Lebih baik kamu pergi dari sini danjangan bilang pada mama kalau kita pernah bertemu.”
                  “Kamu jahat, Siska! Tega sekali kamu pada mamamu! Aku tahu sebenarnya kamu sangat menyesal meninggalkan semuanya. Apalagi dengan kehidupanmu yang miskin seperti ini. Padahal dulu kamu punya hidup yang serba enak, tapi kamu menyia-nyiakannya begitu saja.” Dan akupun pergi tanpa menghiraukan kata-kata Rena.
                  “Kamu benar- benar anak durhaka, Sis!! Kamu akan tahu akibatnya nanti!” Kalimat terakhir Rena seolah menjadi kutukan buatku.
                  Dan sejak itu aku tidak pernah bertemu dengan Rena lagi. Setelah enam tahun.
                  Namun akhirnya apa yang pernah dikatakkan Rena kini menjadi akibat dalam hidupAku sangat menyesal, namun entah kenapa penyesalan selalu datang terlambat. Aku sempat berpikir kalau kehidupanku mungkin tidak bisa kembali seperti dulu lagi.
                  Tapi beberapa hari yang lalu, aku mulai merasa bosan dengan kehidupanku yang amat melarat. Aku sudah tidak tahan menjadi seorang pemulung yang kerjanya hanya mengorek-ngorek tempat sampah. Mencari barang–barang bekas yang hasilnya hanya pas-pasan buat makan sehari-hari. Bahkan terkadang kami tidak makan seharian. Hidup di pinggiran Kota memang sungguh menyiksa. Ditengah- tengah sebuah koloni orang- orang tak ber-etika.
    Juga kulitku yang menjadi buruk, terlalu banyak sel-sel kulit mati yang timbul akibat keseringan terkena terik matahari dan air yang kotor. Padahal dulunya kehidupanku serba enak,kulitku mulus karena selalu dirawat. Dan saat ini, aku ingin mengembalikan semua itu. Aku bertekad untuk bisa mengembalikan masa- masa kejayaanku.
                  Detik ini juga aku akan masuk kedalam rumah ini dan meminta maaf pada keluargaku, berharap mereka mau menerimaku lagi sebagai anak yang selama ini mereka rindukan. Walaupun sebenarnya aku malu dengan keadaanku yang dekil seperti ini. Tapi itu tidak akan mengurungkan niatku.
                  Aku kembali melongokkan kepalaku kearah halaman depan rumah. Aku melihat Deny, kakak laki-lakiku yang lebih tua satu tahun umurnya dariku sedang mencuci mobil honda Jazznya.Aku senang sekali melihatnya. Beberapa menit kemudian aku melihat Rena keluar dari garasi. Aku tak tahu mengapa Rena bisa ada dirumah itu. Dia mengenakkan kaus orange milikku dulu. Sejujurnya aku tidak ikhlas baju itu ia pakai, dan itu menimbulkan rasa heran bagiku. Memang sih dulunya Rena itu sering datang kerumahku, dia sudah seperti saudara sendiri bagi kami. Tapi setahuku, dia tidak pernah datang kerumah sore-sore begini.
                  Rena berjalan menghampiri Deny yang sedang serius mencuci mobilnya. Kemudianmengejek Deny dengan kata-kata lucu. Mereka berduapun tertawa terbahak-bahak, Dengan spontan Deny menyemprotkan air kewajah Rena sampai basah kuyup. Rena menjerit-jerit seraya tertawa dengan tingkah mereka.
                  Entah kenapa tiba-tiba timbul rasa cemburu didadaku, mereka begitu bahagia, sedangkan aku disini menderita selama bertahun-tahun. Atau mungkin mereka sudah menghapus namaku dari daftar kehidupan mereka.
                  Lagi-lagi Evi menarik tanganku kemudian bertanya. “Mereka itu siapa, ma?”
                  “Laki-laki itu… om kamu, Vi. Dan perempuan itu, sahabat mama dulu.”
                  “Mereka cocok ya?” Aku tak berkomentar. Justru kata-kata Evi membuatku semakin terbakar.
                  Selang beberapa menit, orang yang sangat ingin aku temui keluar dari pintu depan. Aku menangis melihat mama. Dia mengenakan daster warna merah, itu adalah daster yang pernah aku belikan di hari ulang tahunnya yang ke empat puluh satu tahun. Itu adalah daster favoritnya. Aku tidak menyangka ia masih suka mengenakannya.
    Seketika itu juga, air mataku meleleh. Tangis sesal, bahagia, juga rasa bersalah, bercampur manjadi satu. Ingin sekali rasanya aku berlari menghampirinya. Memeluk tubuh mama erat-erat tanpa ada keinginan untuk melepasnya. Ingin sekali aku mendengar kata-kata sayang dari bibirnya. Melihat senyuman tulus dari bibirnya. Rindu dengan tatapan mata penuh kasih sayang. Dan aku rindu dengan ayam goreng buatan mama. Dulu ia sering membuatkannya untukku sepulang sekolah.
    Astaghfirulloh ‘al adzimm… hatiku semakin teriris mengingat semua itu. Aku semakin tak sabar ingin bertemu dengan mereka semuaTanpa perlu berlama- lama, segera ku pegang pagar besibesar ini untuk bisa masuk kedalam.
                  Kutarik nafas dalam-dalam dan kuusap dadaku yang berdebar-debar. Aku bimbang, ragu dan juga takut. Namun, sejenak aku mendengar percakapan mama dengan mereka.
                  “Deny! Hentikan! Kamu bisa bikin adik kamu masuk angin… nanti kalau Rena sakit gimana?” Mataku langsung terbelalak, mulutku ternganga mendengar kata-kata yeng keluar dari mulut mama.
    Adik? Adik Deny?
    Apa maksudnya?
                  Aku kembali memasang telinga tajam-tajam, mencoba mencari jawaban. Kulihat mama mendekati Rena dan membasuh muka Rena dengan tangannya. “Kak Deny tiba-tiba nyiram aku, ma…pake air sabun lagi.
                  “Deny! Mama gak pengen ada anak mama yang jadi sakit. Sudah cukup main airnya, lihat! Anak gadis mama jadi basah kuyup begini..” Dan Rena merangkul mama kamudian mencium pipi mama dengan manja.
    Ini tak lazim, ini tak mungkin. Aku sangat terkejut saat itu juga. Seolah petir berskala besar menghantam tubuhku yang luluh akibat pedihnya luka. Aku tidak percaya semua ini. Sahabatku sendiri, kini menjadi anak dari ibuku sendiri? Ternyata selama aku menghilang, Rena telah menggantikan posisiku sebagai bagian dari keluargaku. Rena, sahabat yang dulu memohon-mohon memintaku untuk kembali, kini menjadi anak mamaku. Betapa bodohnya aku membiarkan semua ini terjadi.
    Hatiku teramat sakit, ternyata selama ini aku memang dianggap sudah tidak ada. Aku tidak mungkin melanjutkan niatku ini. Kalaupun aku kembali kerumah, aku pasti akan sangat malu karena namaku sudah dihapus dari daftar keluarga. Apalagi mereka telah mendapatkan seorang penggantiku.Yang notabene: adalah sahabatku sendiri. Aku tidak mungkin kembali, tidak akan mungkin bisa.
    Aku menangis sejadinya. Mungkin sudah takdirku untuk menjadi seorang miskin selamanya dan tidak mungkin bertemu dengan keluargaku. Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Evi untuk mempertemukan ia dengan neneknya. Evi pasti sangat kecewa. Sungguh aku makhluk yang malang.
    Kini kehidupanku sudah seperti serpihan kaca, tidak akan bisa disatukan kembali beling-beling yang sudah hancur. Andai saja dulu aku mau mengikuti setiap nasihat mama, mungkin hidupku tidak akan separah ini. Tapi kini terlanjur. Kalaupun serpihan kaca itu bisa disatukan, butuh perekat yang kuat sebagai penebus kesalahanku selama ini.
            Aku pergi dari tempat ini dengan penuh kesedihan serta penyesalan, begitu mata mama memperhatikan diriku.

    0 komentar

  • Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    BBS FAJAR SHOBIH™ Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan