• Bintang Paling Bersinar

    Apakah perpisahan itu benar-benar ada? Akankah datang untuk mengampiriku? Aku harap tidak! Aku tak mengerti apa arti hidupku dengan datangnya perpisahan.


    Kenalin, ini sekolah gue, SMA Purnama Sakti. Gue bangga sekolah disini. Karena disini, gue bisa kenal sama yang namanya persabatan, persaingan, terlebih lagi tentang cinta. Gue duduk di kelas xi, tepatnya xi a 2. Ya, emang lagi masa labil-labilnya. Lagi masa-masanya ego gue tinggi. Ya, biasalah kalau lagi masa labil semuanya juga pasti sama kayak gue. Lo juga gitu kan kawan? Masa dimana kita itu pasti lagi penasaran sama yang namanya cinta. Walaupun cinta itu nyakitin, bikin nangis, bikin kita ga mau makan, ga mau minum, ga bisa tidur. Pokoknya cinta itu bisa bikin kita gila. Tapi, ya gitulah namanya cinta. Selalu mengundang tanda tanya yang sama sekali ga ada jawabannya.

    ***

    Seudah gue ngenalin diri gue dan sedikit persepsi gue tentang cinta, sekarang ganti topik. Oke, kenalin ini temen gue yang lebih tepatnya adalah sahabat gue. Sahabat yang bener-bener sahabat. Ia selalu ada setiap gue butuh, ga kenal lelah buat bantu gue. Malah gue udah anggep dia sebagai sodara gue sendiri. Kebersamaan itu mungkin sekarang telah berubah menjadi persaan yang mungkin ga mungkin buat gue ungkapin ke dia. Tapi yang pasti, dia selama-lamanya bakal menjadi separuh kepingan hati gue, Andi namanya. Sobat, gue tau gue ga bakalan mungkin ngungkapin persaan gue ke dia. Pertama karena dia udah gue anggap sahabat, kedua karena gue itu cewek yang ga berani buat ngungkapin perasaan gue. Jadi, gue berusaha bersikap sewajar-wajarnya ke dia. Tapi sayang, belakangan ini dia sring memilih untuk menghindar dari gue

    “Andi..” Panggil gue setengah berteiak. Andi membalikan badannya tepat ke arah namanya terdengar. Gue berlari ngedeketin Andi.

    “Lo sombong ya sekarang. Udah ga mau maen lagi ke rumah gue. Ga mau ngerjain PR bareng gue lagi. Lo kenapa sih? Gue punya salah sama lo?” Tanya gue heran.

    Andi hanya tersenyum dengan pertanyaan-pertanyan gue. Dari situ, gue mulai lebih ga ngerti lagi dengan apa yang terjadi pada Andi. Lalu gue pasang muka sebal. Tapi Andi malah nyubit pipi gue dengan keras sampai pipi gue sakit. Setelah itu dia ga ngomong apa-apa lagi. Dia malah pergi ninggalin gue tanpa sepatah katapun. Gue berniat untuk memanggilnya kembali tapi gue urungkan niat gue dan membiarkannya untuk pergi ninggalin gue. Mungkin dia ada sedikit problem yang ga bisa diceritain ke gue untuk pertama kalinya.

    Gue pulang ke rumah sendiri. Biasanya gue kemana-mana bareng sama dia. Pokoknya dia selalu bilang kalau dia ga mau liat gue sedih, nangis dan kecewa. Tapi, kenapa sekarang dia bikin gue kecewa dengan sikapnya yang aneh dan ga bisa gue artiin. Kemana Andi yang selama ini selalu lindungin gue? Bahkan nganggap gue sebagai adiknya, bukan seseorang yang ada di hatinya. Tapi ga apa, itu juga udah lebih dari cukup biar gue pendam sendiri dan tetap diam dalam kebisuan gue akan perasaan gue.

    Sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, sebulan, dan gue ga kuat kalau harus jalanin hidup gue tanpa dia. Walaupun hanya sekedar kakak, tapi itu sangatlah berarti. Gue coba menghubungi no handphonenya, tapi tak kujung dia angkat. Lalu gue beranikan diri untuk menghubungi no telepon rumahnya.

    “Hallo” terdengar suara lembut tante Marissa yang tak lain adalah mama dari Andi

    “Hallo, Tante. Ini Clara.” Jawabku

    “Oh, ada apa Clara?”

    “Em, Andinya ada Tante?”

    Pertanyaan barusan yang gue lontarkan menimbulkan detik-detik menjadi kosong. Suasana hening, seakan Tante Marissa bingung dan tak menmpunyai jawaban untuk pertanyaan gue barusan.

    “An, Andi?”

    “Iya Tante, ada ga?”

    “Ga ada sayang, tadi dia bilang mau keluar.”

    “Oh, ya udah deh Tan, makasih ya Tante. Nanti kalau dia pulang tolong sampein aja kalau aku sempet nelpon ya. Makasih Tante..”

    “Sama-sama”

    Tut..tut..

    Lalu sambungan telepon itu terputus. Terlintas di pikiran gue lagi tentang perilaku Andi dan juga Tante Marissa yang mulai memberikan perlakuan beda terhadap gue.

    Gue berjalan dengan langkah yang tergesa-gesa menuju kamar gue. Tepat di depan cermin, gue memutuskan untuk memandangi diri gue sendiri dan me-review perilaku-perilaku gue dari mulai gue kenal sama Andi dari dulu sampe sekarang. Gue emang sering jail, tapi ga kelewat batas. Gue juga sering ngomong ceplas-ceplos ke dia tapi dia juga suka nanggapinnya dengan santai dan tak pernah terlihat ada sedikitpun dendam maupun amarahnya terhadap gue selama ini. Lalu, apa yang membuat dia menjadi seperti ini? Tuhan, ini sangat membatinkan..

    ***

    Sekarang gue berpikir, lebih baik hidup tanpa Andi daripada harus dicuekin kayak begini, cuma bikin gue makan hati aja. Sekarang gue pergi kemana-mana sendiri, ga perduli Andi ada atau engga. Di mata gue sekarang Andi udah musnah, Andi bukan Andi yang gue kenal dulu. Dan gue janji, gue ga bakalan perduli lagi dengan apapun tentang dia. Seperti dia yang udah ngehindarin gue selama ini dan membuang rasa perdulinya pada gue. Dan gue bakalan lakuin hal yang sama.

    “Clara, liat deh itu ada apa? Kok pada rame gitu ya?” Tanya Anita, temen gue saat gue dan dia melewati lapangan.

    “Ga tau, dan gue udah ga mau tau” ucap gue waktu itu.

    “Lo, kenapa sih? Kok jadi berubah drastis gini! Lo gila ya?”

    “Lo tau kenapa gue jadi seperti ini? Lo liat dong, Andi yang sebegitu perhatiannya sama gue, sekarang malah ngehindarin gue dan ga perduli lagi sama gue. Dan itu artinya buat apa gue merduliin orang lain, kalau nyatanya orang lain juga perdulinya cuma sesaat sama gue!”

    Anita mengerutkan matanya, lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya udahlah, urusan lo!” Ucapnya lalu pergi ninggalin gue.

    Gue ga mendekat. Yang sebenernya gue juga penasaran dengan apa yang terjadi ditengah kerubungan. Hingga akhirnya gue memutuskan untuk pulang. Sesekali gue nengok ke arah sana, gue liat orang yang tadi dikerubungin digotong oleh siswa laki-laki ke dalam mobil. Sepertinya akan dibawa ke rumah sakit.

    ***

    “Claraaaaaa...” Panggil mama gue dari bawah.

    “Iya maaa..” Jawab gue dengan nada malas karena masih ngantuk.

    “Sini sayang, pentiiiing.”

    “Ada apa sih ma?” Tanya gue penasaran. Dengan berat hati gue turun dari lantai 2 menuju lantai dasar.

    “Sayang, jaga rumah ya.”

    “Hah? Cuma gitu doang kok, kata mama penting.” Protes gue.

    “Iya lah penting. Mama mau ngejenguk dulu Andi di rumah sakit. Kamu kan pasti udah sering kesana. Gimana perkembangannya?”

    DEG.. Jantung gue seakan terhenti. Apa yang mama bilang? Andi di rumah sakit? Dia kenapa? Gue ga pernah ngejenguk, gue bahkan ga tau kalau Andi ada di rumah sakit.gue harus gimana? Apa yang harus gue bilang sama mama.

    ***

    Di saat waktu kosong, gue nyempetin dan beraniin diri gue buat datang ke rumah sakit.

    “Kenapa lo datang Ra?”

    Anita ngelirik sinis sama gue. “Oh iya, lo mau ngejenguk siapa Ra? Apa ada yang harus lo jenguk? Atau lo mau ngejenguk seseorang yang menurut lo ga merduliin lo?” Tanyanya dengan nada yang sangatlah super sinis.

    “Sebegitu bencinya lo sama gue? Sampai nada bicara lo sinis kaya gitu?” Tanya gue dengan air mata yang siap meluncur.

    Anita berdiri dari bangku ruang tunggu. “ Harusnya lo nanya ke diri lo sendiri. Sebegitu bencinya lo sama orang yang jelas-jelas merduliin lo?” Lalu dia pergi ninggalin gue.

    Gue melangkah menuju ruangan dimana Andi dirawat.

    Tok.. Tok.. Tok..

    “Masuk” terdengar suara Tante Marissa yang sepertinya sedang menangis meratapi anaknya. Gue membuka pintu dengan perlahan. Mengartikan apa yang sebenarnya terjadi.

    “Tan.. Tante..” Gue menunduk dan mendekati Tante Marissa lalu gue memeluknya.

    “Maaf Tan,” ucap gue dengan tangis yang bisa gue tahan.

    “Tante yang harusnya minta maaf. Tante tau, sikap tante sama Andi pasti bikin kamu kecewa. Tapi Andi terlalu sayang sama kamu sampai dia ga mau kamu tau tentang keadaan dia sekarang.” Ucap Tante Marissa. Mata gue berbinar, menetes dan terus menetes. Mengharapkan kejelasan tentang apa yang Tante Marissa bilang ke gue.

    “Andi berpenyakit Clara, kamu dapat lihat sendiri dengan tak berdayanya Andi membiarkan tubuhnya terkapar. Dia selalu ingin melindungimu, tetapi dia tak bisa melindungi dirinya sendiri. Belakangan ini dia sering jatuh pingsan, otaknya terasa terlalu berat. Tapi dia hanya bisa menyembunyikan semua itu di hadapanmu. Dia ga mau liat kamu sedih, lebih baik melihat kamu membencinya daripada harus melihatmu untuk menangisinya.”

    Gue terdiam sejenak. Mencerna apa yang diucapkan Tante Marissa.

    “Ja.. Jadi..” Mata gue terpejam perlahan. Semua kenangan manis diantara gue dan Andi ternodai oleh keegoisan gue. Suasana hening. Tiada kata-kata lagi dari mulut Tante Marissa. Ia pun tela terhenti dari tangisnya krena nafasnya telah terengah menahan kesakitan ini. Gue duduk di dekat Tante, lalu gue mendengar perut tante yang berbunyi. Sepertinya ia lapar, mungkin ia belum makan.

    “Tante, aku mau keluar dulu sebentar.” Gue pamit buat keluar, yang sebenernya gue mau beli makanan buat Tante, sekalian buat gue juga.

    15 menit kemudian..

    Gue berjalan dengan pasti buat nyerahin makanan ini buat Tante Marissa yang udah laper.

    BRAK.. Makanan yang gue bawa terjatuh dan berhamburan sudah saat gue melihat teriakan histeris Tante Marissa keluar ruangan dengan beberapa suster yang menggiring ranjang beroda. Setelah itu gue ga bisa liat apa-apa lagi. Mungkin mata gue udah buta karena gue ga kuat melihat kenyataan.

    ***

    Mata gue terbuka perlahan, terasa semu bayangan bayangan yang gue liat. Beberapa detik kemudian gue sadar bahwa gue ga buta seperti yang gue kira waktu itu. Ternyata gue pingsan. Gue liat di samping gue ada Tante Marissa. Gue terbangun dan langsung memeluk Tante Marissa. Tante Marissa yang ga sadar kalau gue udah sadar langsung menghapus air matanya.

    “Tan, aku mau ke ruangan Andi.” Ucap gue lemas.

    “Sudahlah, kamu ga akan bisa menyusulnya. Dia terlalu jauh untuk kamu susul” jawabnya lembut.

    “Maksud Tante?”

    “Ayo kita pulang. Nanti akan tante ceritakan semuanya sama kamu. Tante juga akan meminta ijin pada orang tuamu agar kamu diperbolehkan menginap malam ini di rumah Tante.”

    Lalu kami pun segera berkemas. Yang sebenernya gue penasaran banget dengan apa yang udah terjadi. Tapi, Tante Marissa ga mau nyeritin semuanya ke gue sekarang. Jadi mau ga mau gue bungkam.

    ***

    “Claraaa..” Panggil Tante Marissa dari luar rumah. Gue yang lagi nonton televisi lalu berlari mendekat pada Tante Marissa.

    “Sekarang, akan Tante penuhi janji tante. Tante akan menceritakan semuanya padamu. Ayo ikut tante.” Aku mengikuti langkah Tante. Lalu Tante mengajaku duduk di ayunan taman rumahnya. Ayunan yang dimana dulu gue sama Andi sering banget maen ayunan disitu dan berkejar-kejaran di taman itu.

    Tante Marissa memecahkan keheningan malam itu. “Liat Clara, bintang itu bintang yang paling bersinar.” Gue melihat bintang yang ditunjuk Tante Marissa. Gue masih terdiam. “Jarak ke bintang itu pasti jauuuuh sekali.” Lanjutnya.

    Gue hanya mengangguk. Sampai saat ini gue belum tau apa yang sebenrnya maksud yang dibilang sama Tante Marissa.

    “Clara, kamu kangen sama Andi?”

    Deg, pertanyaan itu...

    “Iya tante.” Jawabku singkat sambil menahan air mataku.

    “Ini” lalu Tante Marissa menyodorkan sesuatu padaku.

    Clara, sebelumnya gue mau minta maaf atas kelakuan gue yang bikin lo sedih, kecewa dan bikin lo benci sama gue. tapi percaya deh, gue ngelakuin ini karena gue pikir inilah jalan satu-satunya biar lo ga terlalu kaget dengan apa yang terjadi.

    oh iya, di surat ini, gue Cuma mau nyampein sesuatu aja. kalau lo ngerasa kangen sama gue caranya gampang kok. lo tinggal pergi keluar rumah, lalu pandangin langit dan cari bintang yang paling bersinar. karena itulah gue. lo boleh sesuka hati mandangin gue, karena gue rela dipandangin setiap detik sama lo Ra J

    dan satu hal lagi, sesuatu yang buat gue ga mau liat air mata lo jatuh karena satu hal. pertama gue sayang sama lo dan sayang itu berubah menjadi cinta.

    hidup dengan baik demi gue ya Ra. J

    Andi

    Gue ngelirik Tante Marissa. Tante Marissa hanya tersenyum sembari menunjuk bintang yang paling terang. “Dia disana” ucapnya singkat.

    Gue meluk tante Marissa. Gue sadar sekarang, ternyata Andi ngejauhin gue bukan karena apapun, tapi karena dia terlalu sayang sama gue sampe dia ga mau liat setetes pun air mata di pipi gue.

    Dear, Andi

    Andi, walaupun lo udah ga ada di samping gue dan ga kan pernah bisa ngebuat gue benci lagi sama lo, tapi tetep ada rasa benci gue karena lo menjauh demi hal yang ga penting. Tapi sayang, rasa sayang gue ke lo ngalahin semua rasa benci dan kesalahan-kesalahan lo ke gue. Kini, gue yakin dan gue pastiin bahwa lo adalah Bintang Yang Paling Bersinar di hati gue.. Gumam gue dalam hati..

    0 komentar

  • Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    BBS FAJAR SHOBIH™ Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan