• NAMAKU SUDAH MATI


    Gubrakk!!!
    Suamiku membanting pintu gubuk. Hampir saja pintunya copot. Kemudian ia pergi, lari entah kemana. Aku tahu dia sakit hati. aku mengerti kekecewaanya terhadapku. Tapi ini adalah pilihan.Aku sudah bosan hidup seperti ini terus. Mengais- ngais rezeki yang terus- terusan nihil. Tanpa ada hasil jelas.
                  Evi―anakku yang masih berumur enam tahun, menangis disudut tempat tidur busuknya.Merapatkan kaki kedada, mengisak- isak tangis minta dikasihani. Kututup pintu rapat- rapat.Kemudian tanpa memperdulikan anak semata wayangku, aku mengambil tas besar yang aku guris dari tong sampah rumah orang kaya beberapa bulan lalu. kelihatannya masih bagus, hanya resletingnya saja yang rusak. Dan aku sudah menjahitnya hingga tampak layak pakai lagi.
                  “Mau kemana, Ma? Tanya Evi sambil mengusap- usap air matanya. Membentuk garis liku- liku di pipi kotornya. Rambut panjangnya tak terkucir rapi seperti tadi pagi.
                  Aku membuka lemari yang hampir ambruk. Aku harus pelan- pelan mengambil beberapa baju yang ada disitu, atau lemari itu bisa saja menimpaku seperti kejadian seminggu yang lalu. Aku sudah minta Firman untuk memperbaikinya, tapi dia malah terlalu sibuk dengan pekerjaannya yang tak jelas di TPS.
                  Mama mau pergi!” Jawabku singkat. Evi mendekatiku, menarik- narik rokku hampir terlepas.
                  “Evi ikut sama mama. Evi gak mau ditinggal sedirian.
                  Lantas aku tersenyum.Membungkukkan badan seraya memegang bahu mungil anakku.
                  “Kalau gitu, bantuin mama masukin bajumu kedalam tas, ya?” Diapun bergegas mengambil baju- bajunya kemudian ikut menyusunnya ke dalam tas. Anak perempuan berumur empat tahun itu lugas sekali. Sangat semangat untuk ikut bersamaku. Meskipun ia belum tahu, kemana tujuanku sebenarnya.
    Setelah semuanya beres, aku dan Evi keluar dari dalam gubuk bau ini. Merayap ke tengahkota guna mencari sesuatu yang sempat hilang dari kehidupanku dulu.

      

    Panas terik matahari ini tak dapat lagi membuatku merasakan perih membakar kulit. Setiap butiran debu kasat mata menempel di pelipis berminyakku. Serasa aku sudah akrab dengan panas. Iabagaikan udara segar bagiku. Yah… siapa tahu dengan begini aku juga bisa jadi terbiasa dengan panas neraka, sehingga kelak aku tak perlu menjerit-jerit disana. Namun tak seharusnya aku melibatkan Evi.
                  Dibalik dinding tembok pagar sebuah rumah mewah yang dulunya adalah tempat tinggalku ini aku bersembunyi. Mengintai dari luar untuk melihat keadaan rumah tersebut. Ku gandeng erat-eraat tangan anakku yang kurus dan hangat. Mungkin ia bingung apa yang sebenarnya dilakukan oleh ibunya di tempat seperti ini setelah bertengkar dengan ayahnya dan pergi dari rumah karena tidak tahan dengan kehidupan yang selama ini serba melarat.
                  Evipun mendongakkan kepalanya lantas bertanya padaku. “Kita ngapain sih, ma? Disinikan panas…” Eluh Evi seraya menutup kepalanya dengan sapu tangan usang. Aku terpaksa tersenyum untuk membuat hatinya tidak bingung dan bersikap tenang.
                  “Sabar ya, nak? Sebentar lagi kamu akan ketemu dengan nenek kamu.” Dan aku dapat melihat wajah girang dan senyuman lebar dari bocah mungil ini.
                  “Nenek? Evi pengen ketemu sama nenek, ma… Evi pengen punya nenek.” Katanya girangtak sabar ingin bertemu dengan neneknya yang selama ini tak pernah kuperlihatkan padanya. Karena neneknya yang sebenarnya itu sudah hampir empat tahun tidak menjadi ibuku akibat kebodohanku sendiri
                  Aku jadi ingat saat aku masih berumur 17 tahun, saat itu aku masih duduk di kelas duaSMA. Masa-masa remaja yang terlalu bebas bagiku. Jatuh cinta dengan seorang pria yang juga sangat mencintaiku namun akhirnya berujung penyesalan. Pria itu bernama Firman, sampai sekarangia masih suamiku. Namun baru dua jam yang lalu aku memutuskan untuk berpisah dengannya.
    Selama aku dan Firman berpacaran, orang tuaku tidak pernah setuju dengan hubungan kami.Karena Firman adalah anak yang berasal dari keluarga miskin dan tidak jelas statusnya. Sedangkan aku berasal dari keluaga yang bisa dibilang kaya dan cukup ternama. Papa dan Mama selalu menuruti setiap keinginanku. Aku sadar mereka sangat sayang padaku.
                  Mama memang tidak salah berbicara seperti itu padaku. Karena dia adalah ibu yang sangat baik juga perhatian pada anak gadisnya. Ia ingin melihat aku bisa sukses, menjadi gadis yang kelak bisa berhasil dan membanggakan keluarga. Setiap hari mama tidak pernah lupa memberiku pesan-pesan positif. Tapi terkadang aku mengabaikannya begitu saja. Aku terlalu terlena dengan masa muda.
                  Tingkahku semakin menjadi-jadi ketika tahu bahwa hubunganku dengan Firman tidak disetujui oleh orang tuaku. Meskipun Firman adalah orang miskin, tapi aku tahu dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab dan pasti bisa berubah menjadi orang yang berhasil, karena dia adalah anak yang baik dan pintar. Namun, hal yang tidak diinginkan terjadi. Aku hamil diluar nikah diusiaku yang masih belia.
                  Aku sangat menyesal saat itu, tak tahu lagi apa yang harus ku lakukan dan apa yang akan aku katakkan pada orang tuaku. Sudah pasti aku akan mempermalukan keluargaku yang selama ini sudah mendidikku baik-baik. Atau mungkin saja aku akan diusir oleh mereka karena perbuatanku yang sungguh memalukkan. Sungguh aku tak ingin membuat mama kecewa atau membuatnya sedih.Akhirnya dengan terpaksa aku meninggalkan pesan lewat surat dan pergi meninggalkan semua yang aku miliki selama ini disaat usia kandunganku 3 bulan. Akupun pergi sejauh mungkin dari rumah dan menikah dengan Firman. Kami berdua terpaksa putus sekolah karena harus menghidupi keluarga.
                  Kami terpaksa menjadi pekerja kasar karena pendidikkan yang tidak memadai. Akupun ketularan menjadi pemulung seperti Firman. Dan sejak itu juga, aku tidak pernah bertemu dengan keluargaku lagi.
                  Namun beberapa bulan kemudian, tanpa disengaja aku bertemu dengan Rena, orang yang sempat menjadi sahabatku dulu. Jelas dia sangat terkejut melihat keadaanku saat itu.  Ia meminta dan memohon padaku untuk kembali bersama orang tuaku, dia bilang mama sampai sakit karena memikirkan nasibku yang tidak ada kabarnya sama sekali. Aku tahu Rena benar, tapi saat itu aku punya komitmen, untuk tetap pada pendirianku. Hidup bersama lelaki pilihan.
                  “Aku tidak bisa, Ren… aku sudah terlanjur malu dengan keluargaku. Mereka pasti tidak mau menerimaku lagi sebagai anak. Apa kau tidak lihat keadaanku sekarang? Mau ditaruh dimana mukaku?” Kataku sambil menangis dihadapan Rena saat itu.
                  “Enggak, Sis… mereka masih sayang sama kamu. Pulanglah… kasihan mama kamu. Dia sangat rindu dengan anak perempuannya.” Pinta Rena memohon. Namun aku tetap bersikeras tidak ingin kembali kerumah, walaupun sebenarnya aku ingin sekali. Jujur, hatiku bimbang saat itu.
                  “Aku sudah punya anak, Ren. Dan aku harus bertanggung jawab dengan keluargaku.Mereka pasti tidak mau menerima Firman sebagai suamiku. Lebih baik kamu pergi dari sini danjangan bilang pada mama kalau kita pernah bertemu.”
                  “Kamu jahat, Siska! Tega sekali kamu pada mamamu! Aku tahu sebenarnya kamu sangat menyesal meninggalkan semuanya. Apalagi dengan kehidupanmu yang miskin seperti ini. Padahal dulu kamu punya hidup yang serba enak, tapi kamu menyia-nyiakannya begitu saja.” Dan akupun pergi tanpa menghiraukan kata-kata Rena.
                  “Kamu benar- benar anak durhaka, Sis!! Kamu akan tahu akibatnya nanti!” Kalimat terakhir Rena seolah menjadi kutukan buatku.
                  Dan sejak itu aku tidak pernah bertemu dengan Rena lagi. Setelah enam tahun.
                  Namun akhirnya apa yang pernah dikatakkan Rena kini menjadi akibat dalam hidupAku sangat menyesal, namun entah kenapa penyesalan selalu datang terlambat. Aku sempat berpikir kalau kehidupanku mungkin tidak bisa kembali seperti dulu lagi.
                  Tapi beberapa hari yang lalu, aku mulai merasa bosan dengan kehidupanku yang amat melarat. Aku sudah tidak tahan menjadi seorang pemulung yang kerjanya hanya mengorek-ngorek tempat sampah. Mencari barang–barang bekas yang hasilnya hanya pas-pasan buat makan sehari-hari. Bahkan terkadang kami tidak makan seharian. Hidup di pinggiran Kota memang sungguh menyiksa. Ditengah- tengah sebuah koloni orang- orang tak ber-etika.
    Juga kulitku yang menjadi buruk, terlalu banyak sel-sel kulit mati yang timbul akibat keseringan terkena terik matahari dan air yang kotor. Padahal dulunya kehidupanku serba enak,kulitku mulus karena selalu dirawat. Dan saat ini, aku ingin mengembalikan semua itu. Aku bertekad untuk bisa mengembalikan masa- masa kejayaanku.
                  Detik ini juga aku akan masuk kedalam rumah ini dan meminta maaf pada keluargaku, berharap mereka mau menerimaku lagi sebagai anak yang selama ini mereka rindukan. Walaupun sebenarnya aku malu dengan keadaanku yang dekil seperti ini. Tapi itu tidak akan mengurungkan niatku.
                  Aku kembali melongokkan kepalaku kearah halaman depan rumah. Aku melihat Deny, kakak laki-lakiku yang lebih tua satu tahun umurnya dariku sedang mencuci mobil honda Jazznya.Aku senang sekali melihatnya. Beberapa menit kemudian aku melihat Rena keluar dari garasi. Aku tak tahu mengapa Rena bisa ada dirumah itu. Dia mengenakkan kaus orange milikku dulu. Sejujurnya aku tidak ikhlas baju itu ia pakai, dan itu menimbulkan rasa heran bagiku. Memang sih dulunya Rena itu sering datang kerumahku, dia sudah seperti saudara sendiri bagi kami. Tapi setahuku, dia tidak pernah datang kerumah sore-sore begini.
                  Rena berjalan menghampiri Deny yang sedang serius mencuci mobilnya. Kemudianmengejek Deny dengan kata-kata lucu. Mereka berduapun tertawa terbahak-bahak, Dengan spontan Deny menyemprotkan air kewajah Rena sampai basah kuyup. Rena menjerit-jerit seraya tertawa dengan tingkah mereka.
                  Entah kenapa tiba-tiba timbul rasa cemburu didadaku, mereka begitu bahagia, sedangkan aku disini menderita selama bertahun-tahun. Atau mungkin mereka sudah menghapus namaku dari daftar kehidupan mereka.
                  Lagi-lagi Evi menarik tanganku kemudian bertanya. “Mereka itu siapa, ma?”
                  “Laki-laki itu… om kamu, Vi. Dan perempuan itu, sahabat mama dulu.”
                  “Mereka cocok ya?” Aku tak berkomentar. Justru kata-kata Evi membuatku semakin terbakar.
                  Selang beberapa menit, orang yang sangat ingin aku temui keluar dari pintu depan. Aku menangis melihat mama. Dia mengenakan daster warna merah, itu adalah daster yang pernah aku belikan di hari ulang tahunnya yang ke empat puluh satu tahun. Itu adalah daster favoritnya. Aku tidak menyangka ia masih suka mengenakannya.
    Seketika itu juga, air mataku meleleh. Tangis sesal, bahagia, juga rasa bersalah, bercampur manjadi satu. Ingin sekali rasanya aku berlari menghampirinya. Memeluk tubuh mama erat-erat tanpa ada keinginan untuk melepasnya. Ingin sekali aku mendengar kata-kata sayang dari bibirnya. Melihat senyuman tulus dari bibirnya. Rindu dengan tatapan mata penuh kasih sayang. Dan aku rindu dengan ayam goreng buatan mama. Dulu ia sering membuatkannya untukku sepulang sekolah.
    Astaghfirulloh ‘al adzimm… hatiku semakin teriris mengingat semua itu. Aku semakin tak sabar ingin bertemu dengan mereka semuaTanpa perlu berlama- lama, segera ku pegang pagar besibesar ini untuk bisa masuk kedalam.
                  Kutarik nafas dalam-dalam dan kuusap dadaku yang berdebar-debar. Aku bimbang, ragu dan juga takut. Namun, sejenak aku mendengar percakapan mama dengan mereka.
                  “Deny! Hentikan! Kamu bisa bikin adik kamu masuk angin… nanti kalau Rena sakit gimana?” Mataku langsung terbelalak, mulutku ternganga mendengar kata-kata yeng keluar dari mulut mama.
    Adik? Adik Deny?
    Apa maksudnya?
                  Aku kembali memasang telinga tajam-tajam, mencoba mencari jawaban. Kulihat mama mendekati Rena dan membasuh muka Rena dengan tangannya. “Kak Deny tiba-tiba nyiram aku, ma…pake air sabun lagi.
                  “Deny! Mama gak pengen ada anak mama yang jadi sakit. Sudah cukup main airnya, lihat! Anak gadis mama jadi basah kuyup begini..” Dan Rena merangkul mama kamudian mencium pipi mama dengan manja.
    Ini tak lazim, ini tak mungkin. Aku sangat terkejut saat itu juga. Seolah petir berskala besar menghantam tubuhku yang luluh akibat pedihnya luka. Aku tidak percaya semua ini. Sahabatku sendiri, kini menjadi anak dari ibuku sendiri? Ternyata selama aku menghilang, Rena telah menggantikan posisiku sebagai bagian dari keluargaku. Rena, sahabat yang dulu memohon-mohon memintaku untuk kembali, kini menjadi anak mamaku. Betapa bodohnya aku membiarkan semua ini terjadi.
    Hatiku teramat sakit, ternyata selama ini aku memang dianggap sudah tidak ada. Aku tidak mungkin melanjutkan niatku ini. Kalaupun aku kembali kerumah, aku pasti akan sangat malu karena namaku sudah dihapus dari daftar keluarga. Apalagi mereka telah mendapatkan seorang penggantiku.Yang notabene: adalah sahabatku sendiri. Aku tidak mungkin kembali, tidak akan mungkin bisa.
    Aku menangis sejadinya. Mungkin sudah takdirku untuk menjadi seorang miskin selamanya dan tidak mungkin bertemu dengan keluargaku. Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Evi untuk mempertemukan ia dengan neneknya. Evi pasti sangat kecewa. Sungguh aku makhluk yang malang.
    Kini kehidupanku sudah seperti serpihan kaca, tidak akan bisa disatukan kembali beling-beling yang sudah hancur. Andai saja dulu aku mau mengikuti setiap nasihat mama, mungkin hidupku tidak akan separah ini. Tapi kini terlanjur. Kalaupun serpihan kaca itu bisa disatukan, butuh perekat yang kuat sebagai penebus kesalahanku selama ini.
            Aku pergi dari tempat ini dengan penuh kesedihan serta penyesalan, begitu mata mama memperhatikan diriku.
  • KISAH YANG SALAH


    Karena sesungguhnya, merealisasikannya itu lebih sulit daripada merajut angan.

    Entah karena angan yang terlalu tinggi, atau justru angan itu terlampaui mustahil.

    Yang pasti kenyataannya tak seobjektif yang apa yang terlihat.



    Aku dan kamu itu bukan sebuah kesalahan.

    Karena semua itu pasti ada maksud, sebab dan akibat.

    Hanya saja kita belum tahu makna yang tersirat dibalik ini semua.

    Sehingga menerka yang menyebabkan hati semakin gulana lah yang didapat.



    Menyedihkan memang.

    Tapi apa yang mau dikata?

    Melakukan sesuatu pun belum tentu solusi yang bisa menyembuhkan apa yang dirasakan hati.

    Sehingga, diam adalah pilihan terbaik.

    Tentu diam disertai intropeksi.

    Mengapa kita, bukan mereka?

    Mengapa harus begini jika bisa begitu?

    Mengapa harus ada kisah yang salah jika ada kisah yang benar?

    Mengapa tak dapat menjadi kenyataan padahal begitu dekat?
  • Bintang itu

    Bintang itu

    telah lama mati

    jauh sebelum sinarnya tampak di Bumi



    bintang itu

    telah menjadi debu

    saat cahayanya berkerling manja di langit



    beruntungnya hatiku tidak

    hatiku tak mati

    saat cahaya itu jatuh di pelukmu

    hatiku masih utuh

    saat sinarnya dapat kau rasakan



    hatiku tidak mati seperti bintang itu

    hanya saja hatiku sedikit rapuh

    dan dalam keluasan samudra angkasa

    aku tak punya arah yang pasti

    agar tak cepat menjadi debu
  • Desi Riana

    Mentari terlihat cerah pagi ini,begitu juga cerahnya hati gadis cantik yang terlihat sangat ceria di pagi ini.Karena hari ini adalah hari yang sangat ditunggu oleh Chinta,ya. . . gadis berparas cantik itu bernama Chinta.
    Hari ini adalah hari pertama Chinta masuk kuliah.Suasana baru dan juga teman baru tentu saja dihadapi oleh Chinta.
    Dengan perasaan senang bercampur deg-deg an dia mulai melangkah menuju kampus tempatnya kuliah,perlahan dia melangkah melewati gerbang kampusnya.
    “hai….” terdengar sapa seorang pria memecahkan lamunan Chinta.
    “ehmmm…..hai juga” jawab Chinta sedikit ragu.
    “kamu mahasiswi baru ya di sini?” dengan tersenyum manis pria itu mencoba mencairkan suasana yang terlihat beku antara mereka.
    “iya,aku mahasiswi baru disini,” dengan masih dalam keraguan Chinta menjawab.
    “salam kenal ya,aku Bintang,mahasiswa fakultas ekonomi semester 3.” Dengan lembut pria itu memperkenalkan dirinya.
    “aku Chinta,” jawab Chinta singkat.
    Dan ini adalah awal suasana baru yang akan dihadapi Chinta di tempat belajarnya yang baru.

    ---@---

    Segar embun pagi ini menyambut hari indah untuk Chinta.
    “ma….chinta berangkat ya.” Teriak Chinta dari kepada mamanya dari depan pintu.
    “hari ini aku bakal ketemu Bintang gak ya?” gumam Chinta dalam hati,yang diam-diam mengagumi pria yang baru dikenalnya itu.
    Setibanya di kampus,Bintang kembali menyapa Chinta di depan gerbang.Bintang sengaja menunggu Chinta pagi ini.
    “hari yang cerah ya Chin?”
    “eh…ka Bintang,iya ni ka cerah banget hari ini.”
    “yaudah,,masuk bareng yuk,”
    “ehm,,,iya ka”
    Hari terus berganti,Chinta pun telah memiliki sahabat baik di kelasnya,dan keakraban pun mulai terjalin antara Chinta dan Bintang yang menjadikan cerita-cerita menarik di hari Chinta.
    Misca, adalah sahabat Chinta yang selalu menemani Chinta dalam keadaan apapun.
    “pagi Misca,,,,” sapa Chinta pada sahabat baiknya itu,
    “pagi Chin,ceria banget sih kamu hari ini,ada apa nih?” saut Misca menjawab sapaan Chinta.
    “ah biasa aja,perasaan kamu aja kali,,heheheh” jawab Chinta sambil beranjak meninggalkan Misca yang duduk di taman depan kampus.
    “chinta,,,tungguin donk,main kabur aja sih kamu tu.” Teriak Misca mengejar langkah Chinta yang tidak terlalu cepat itu,hingga dapat dikejar oleh Misca.
    “Chinta.kamu kenapa sih,,,aneh banget kayanya. Jangan-jangan kamu lagi jatuh cinta ya?” goda Misca kapada Chinta.
    “apaan sih Mis,kamu tu ngaco kalo ngomong.lagian siapa juga yang lagi jatuh cinta,kamu tu suka banget tebak-tebak bagitu”
    “ayolah Chin,gak usah bohong. Aku tau lho.” Desak Misca sambil menggoda Chinta dengan senyumnya yang misterius itiu.
    “aku tu gak kenapa-napa Misca,gak percaya amat sih.” Elak Chinta malu,yang semakin membuat Misca yakin kalau Chinta sedang suka sama seseorang.
    “ah…kamu tu masih aja ngelak sih,aku tau kok kalau kamu suka sama ka Bintang,iya kan?ayo ngaku?”
    Namun kali ini Chinta tak menjawabnya,mereka berdua pun jadi sama-sama terdiam.
    “hai Chinta,,,Misca,apa kabar?” tiba-tiba Bintang datang menyapa,memecahkan keheningan kedua gadis tersebut.
    “hai ka” jawab Chinta dan Misca serentak.
    “Chin,aku ke toilet dulu ya?” Misca pergi meninggalkan Chinta dan Bintang. Seakan dia memberikan kesempatan pada Chinta untuk berdua dengan Bintang.
    Terlihat dari sorot mata keduanya bahwa ada benih-benih cinta yang tumbuh diantara Chinta dan Bintang. Laksana bunga tumbuh di musim semi,begitu indah dipandang mata,dan begitu tenang menentramkan jiwa setiap ala m yang melihatnya. Laksana mentari yang selalu menghangatkan manusia setiap hari. Tak terkecuali indahnya cinta Chinta kepada Bintang yang begitu menghangatkan jiwa.
    “Chin besok ada acara gak?” suara Bintang mengalihkan Chinta, yang sebelumnya terus memandangi Misca yang pergi meninggalkan mereka berdua di taman kampus.
    “ehm…kayanya gak ada deh,emangnya ada apa ka?” Chinta balik memandang Bintang yang dari tadi sudah duduk di kursi taman.
    “kalo kamu gak ada acara,kita jalan yuk.”
    “boleh tu,hehehe…aku juga bosen dirumah. Emang mau jalan kemana?” Chinta ikut duduk disamping Bintang.
    “udah,besok kamu juga tau. Besok aku jemput jam 9 pagi ya”
    “oke” jawab Chinta penuh semangat dengan senyumnya yang khas.
    Dengan wajah ceria Chinta pergi meninggalkan Bintang dan mencari Misca yang dari tadi belum balik dari toilet. “kemana sih nie orang ke toilet lama banget” gumam Chinta dalam hati sambil celingukan mencari dimana Misca.
    “hai Chinta.” Suara Misca mengagetkan Chinta yang dari tadi celingukan gak jelas.
    “diech kamu Mis,udah tadi main kabur aja dari taman, eh malah sekarang ngagetin orang begini.”
    “ciee…ciee…seneng banget nie kayanya?” goda Misca sambil senyum-senyum di samping pipi Chinta.
    “iech Misca,apa-apaan sih,biasa aja kali”
    “cerita dong sama aku.”
    “iya nih, besok aku mau jalan sama ka Bintang. Menurut kamu gimana Mis?” dengan wajah merah Chinta mulai bercerita pada Misca.
    “ya bagus dong, emang itu kan yang kamu inginkan dari kemarin”
    “iya juga sih, doain ya nge-date pertamaku sama ka Bintang jadi berkesan.hehehe…”
    “sip deh. Ngomong-ngomong kamu beneran suka kan sama ka Bintang? Ngaku aja deh,kelihatan dari mata kamu tau.”
    “apakah mungkin ini yang namanya cinta ya Mis, aku ngrasa seneng banget kalo di deket ka Bintang. Aku juga suka deg-degan kalo ngliat ka Bintang.”
    “ehemmm…eheemmm…yang lagi jatuh cinta. Yaudah deketin terus tu ka Bintang”
    “tapi Mis, aku kan gak tau ka Bintang juga suka sama aku atau gak, aku juga gak tau dia udah punya pacar apa belum. Ntar aku dikira ngrebut pacar orang lagi” Tanya Chinta yang takut cintanya bertepuk sebelah tangan.
    Dengan manis misca menjawab, “percaya sama aku deh Chin, ka Bintang tu juga suka sama kamu. Kamu gak usah khawatir begitu, ka Bintang juga belum punya pacar kok.”
    “kamu tau dari mana Mis kalo ka Bintang belum punya pacar, jangan-jangan kamu Cuma nebak aja.”
    “ya ampun Chin, aku tu serius. Kemarin aku denger ka Bintang ngobrol sama temennya, kalo dia tu belum punya pacar.”
    “yang bener Mis?” Tanya Chinta penasaran.
    “masa aku bohong sih sama sahabat aku sendiri. Percaya deh sama aku”

    ---@---

    Siang pun berganti malam, keresahan pun mulai merajai hati Chinta. Namun keresahan itu dapat tertutupi oleh rasa bahagia yang dirasakan Chinta. Benih-benih cinta yang dulu tumbuh pun kini semakin bersemi di hati. Berharap menjadikan indah mimpi ala mini.
    Pagi pun menjelang, mentari mulai terbit di ufuk timur. Hangat mentari menyinari dunia pagi ini. Ceria pun tampak di wajah Chinta, karena hari ini adalah hari pertama Chinta nge-date sama Bintang.
    “Chinta, udah pagi ni, bangun sayang katanya mau jalan sama Bintang.” Dengan lembut mama membangunkan Chinta.
    “iya ma, memang sekarang jam berapa?”
    “jam 6 sayang, udah cepetan bangun sna. Mandi terus sarapan, mama udah ala m nasi goreng kesukaan kamu.”
    “iya mama.”

    ---@---

    Dengan hati yang berbunga Chinta berdiri di depan kaca, berputar-putar, memastikan penampilan dia sudah cantik atau belum. Tanpa sepengetahuan Chinta, ternyata mama dari tadi ada di depan pintu menyaksikan tingkah anaknya yang sedang jatuh cinta.
    “anak mama cantik sekali.” Suara mama membuat Chinta kaget.
    “mama…mama udah lama disitu?” sahut Chinta malu-malu.
    “bener saying, kamu cantik banget.” Puji mama.
    “makasih ma.”
    “ting…tong…” tiba-tiba suara bel terdengar, dan Chinta pun bergegas mengambil tasnya lalu keluar kamar.
    “itu pasti ka Bintang ma, ayo keluar ma.” Chinta mengajak mama keluar sambil berlari kecil.
    “iya sayang, pelan-pelan jalannya ntar jatuh.”
    “iya ma.”
    Chinta berusaha menyembunyikan wajah gugupnya, perlahan ia membuka pintu. Dan Bintang pun menyapa Chinta.
    “hai Chin, sudah siap jalan sama aku kan?” sambil tersenyum ia menyapa.
    “hai ka, yaudah, berangkat yuk” ajak Chinta
    “mama mana? Gak pamit dulu sama mama?”
    “udah ka, tadi aku udah pamit sama mama.”
    “Oh…yaudah ayo berangkat.”
    Mereka berdua pun berangkat. Suasana masih kaku, karena tak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan. Hanya suara kendaraan yang lalu lalang di samping mereka lah yang terdengar. Setelah cukup lama hening, Bintang pun akhirnya memulai pembicaraan.
    “kamu cantik banget hari ini Chin.”
    “ah kakak bias aja, aku jadi malu nih ka,,hehe” jawab Chinta sambil tertawa kecil.
    “bener Chin, kamu beda kalau gak pake baju seragam. Lebih cantik.”
    “Ehm…kita mau kemana ka?” Tanya Chinta memotong Bintang.
    “kakak punya tempat bagus untuk kita kunjungi. Disana tempat faforit kakak kalau lagi sendiri.”
    “emangnya dimana ka?”
    “udah, ikut aja, ntar juga nyampe kok.” Sambil tersenyum Bintang membuat Chinta makin penasaran.
    Beberapa saat kemudian mereka tiba di tempat yang di maksud Bintang. Yaitu sebuah bukit kecil di pinggir kota yang sangat indah. Dari sana mereka dapat melihat keadaan kota bersama rimbun dedaunan dan bunga-bunga liar yang tumbuh di sekelilingnya, menambah cantik keindahan di tempat itu. Tempat yang sangat indah untuk melepaskan kepenatan yang dirasakan di kota yang sangat panas
    Canda dan tawa pun menyelimuti Chinta dan Bintang, dua sejoli yang sedang merasakan indahnya jatuh cinta. Hingga tak terasa waktu pun telah berganti, mentari yang tadinya gagah di atas sana menyinari bumi, kini mulai condong dan semakin menambah keindahan pemandangan dari atas bukit. Dari sana mereka pandangi kota yang begitu padat kendaraan dan gedung-gedung tinggi. Indah suasana senja pun terlihat, mengikuti romantisme antara Chinta dan Bintang.
    Betapa bahagianya hati Chinta menghabiskan hari yang indah ini bersama Bintang, seseorang yang di sayanginya.
    “ka…makasih ya udah bawa aku ke sini. Aku seneng banget kakak bawa aku kesini. Ternyata di balik gedung-gedung tinggi itu, masih ada tempat seindah ini.”
    “sama-sama Chin, aku juga seneng bisa menghabiskan waktu sama kamu. Sekarang kita pulang yuk, kapan-kapan lagi kita kesini.”
    “iya kak.”

    ---@---

    Hari itu adalah hari yang sangat membuat Chinta bahagia, orang yang ia sayang memberikan hari yang begitu indah untuk Chinta. Dan ala mini, Chinta terus membayangkan saat-saat indah bersama bintang, orang yang sangat ia sayangi. Malam pun semakin larut, Chinta pun bergegas tidur. Ia sudah tidak sabar ingin cepat-cepat pagi, karena Chinta ingin sekali bercerita pada sahabat baiknya.
    Pagi pun menjelang, jam menunjukkan pukul 07.30 WIB, dan gadis berparas cantik itu pun sudah siap untuk berangkat ke kampusnya. Tak lupa Chinta menghampiri Misca untuk berangkat kuliah bersama.
    Tanpa basa-basi Chinta langsung menceritakan semua yang telah ia lalui bersama Bintang hari minggu kemarin, dan tidak ada satu peristiwa pun yang terlewatkan. Tak terasa mereka berdua sudah sampai di depan kampus. Misca turut senang mendengar cerita Chinta.

    ---@---
  • Di balik semua ini


    Panggil saja namaku monic,ini hanya sebagian dari kisah hidupku,terkadang aku berpkir msih adakah cinta untukku dr seorang laki2 yang aku cinta dan aku sayangi,dia biasa2 saja,dia tdk tampan,dia tdk kaya namun aku sadar cinta tak mengenal itu semua.

    Andai saja dia tahu berapa berharapnya aku ingin hdup berdmpingan selamanya dengannya,menghabskan hari2ku dengannya namun semua itu terjadi tdk seperti yang aku harapkan,cinta dan sayangku tdk seperti yang aku harapkan melainkan berakhir dg rasa sakit yang ia tingglkn

    Dengan berjalannya waktu aku semakin sadar bahwa dia egois,dan apapun yang aku lakukan selalu salah di mata dia,awalnya aku belajar tuk mengerti dia krn ku sadar manusia tdk ada yang sempurna karna ku sadar akupun jauh dari kesempurnaan krn ksempurnaan hanya milik allah semata

    Dan rencana aku menikah dengan dia yg sudah ada di depan matapun harus kandas,pdahal hub aku dengan dia akan menikah sudah di ketahui oleh orang tuaku,teman2ku dan tetangga2u,apa yang akan aku jwb ketika mereka bertanya kenapa aku tdk jadi menikah? Akupun harus siap dengan cibiran orang

    Pada saat aku ptus darinya aku menangis dan merasa tuhan tidak adil,kmudian aku isi hari2ku dg kesibukan yang positif,aku lebih dekat lagi dg allah yg selama ini sudah lama aku jauh darinya,di setiap shalatku tak hentinya aku meminta kepada allah untuk di berikan kesabaran utk menerima semuanya ini

    Dan dengan pertolongan allah lambat laun aku bisa menerima semua ini dan aku yakin allah telah menyiapkn jodoh untukku yang manpu membimbingku di jalan allah,dan aku sadar ini semua sudah kehendak allah,dan kini aku bisa tersenyum kembali meskipun tanpa dia bahkan sekarang aku bias jauh lebih baik tnpa dia,dan aku sadar cinta tak harus memiliki

  • Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    BBS FAJAR SHOBIH™ Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan