• Rasa


    Aku tak pernah mengetahui apa yang ia pikirkan tentang diriku, aku juga tak pernah mengetahui bagaimana penilaliannya tentang diriku.Tapi yang jelas, segala sikap dan tingkah lakunya memberikan suatu arti di setiap langkahku bertemu dengannya. Kefasihannya dalam membimbing doa dan membaca Al-Qur'an meyakinkanku bahwa ia adalah orang yang tepat untukku, satu hal inilah yang membuat aku kagum padanya. Meski aku tak tau apa yang sedang merasuki pikiranku benar atau tidak adanya.


    Aku semakin ingin mengenalnya ketika segala tingkah lakunya yang kocak, aneh dan sulit untuk ditebak seolah memberikan kunci rahasia bagiku. Pada ku terkadang tak peduli, seolah tak pernah mengenal diriku. Namun, terkadang berubah menjadi begitu akrab, perhatian dan kerap memberi warna dalam hidupku. Setiap kata yang tertuang dari bibirnya, seakan memberikan suatu kunci apa yang harus aku katakan padanya hari ini, besok, bahkan lusa. "Ya Allah... hamba mohon pada Mu, kuatkanlah hamba akan semua ini. Engkau Maha Mengetahui, Engkau Maha Melihat, dan Engkau adalah Maha dari segala Maha yang berada di alam semesta ini. Berikanlah hamba petunjuk, lindungilah hamba Mu ini Ya Allah... Berilah hamba jalan yang lurus dalam menemukan keridhaan Mu", lantunan ini selalu tersirat di hati, dikala sunyi ku berdo'a pada Nya.

    Aku tak pernah berharap tuk jatuh hati padanya. Namun apalah dayaku, aku hanyalah seorang manusia biasa yang tak sempurna dan tak mampu tuk menahan gejolak rasa yang ada dalam diriku. Aku sungguh tak mampu untuk menolak apa yang telah tersurat dalam kehidupanku, aku suka pada dirinya dan mungkin aku menyanginya. Namun yang pasti, aku akan menggenggam rasa ini hingga saatnya tiba.

    Dikala sendiri, terkadang aku teringat akan dirinya, ketika memimpin do'a, menegurku, mengejutkanku, membacakan puisi untukku, dan bahkan bersenda gurau denganku. Aku merasa kenyamanan ketika berada di sampingnya. Dan aku merasa, bahwa akan hadir seseorang yang akan selalu membimbingku dan melindungiku selamanya dengan kasih sayang yang tulus. Dalam kalbu ku selalu berdoa, semoga dia benar-benar dapat menjadi seorang sahabat yang dengan tulus memberikan kasih sayangnya padaku.

    Namun, siapa yang salah? Kini aku berada dalam belenggu jiwa yang membara. Aku tergores akan bimbang, gelisah dan keraguan untuk menentukan suatu pilihan nyata yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.

    “Wien,,, bunda tau, apa yang kamu rasakan. Menangislah sepuasmu, luapkan semuanya. Bunda yakin, kamu bisa mengatasi semuanya. Jadilah seorang wanita yang sabar dan tegar dibalik cucuran air mata yang deras kamu alirkan”, suara bunda menyumbat lamunanku. Aku tersentak, dengan spontan aku memeluk bunda, “wiewien sayang bunda… Maafin wiewien ya bun, wiewien hanya jadi wanita yang teramat cengeng…”. “Iya,,, bunda juga sayang banget sama wiewien… Nah, sekarang waktunya mandi dan berangkat sekolah… Ingat, jangan nangis di sekolah ya sayang…!” “Okey bunda,,, makasih ya…” sekuntum kecupan manis dari bibir bunda pun aku dapatkan dan telah memberikan kekuatan bagiku untuk melangkahkan kaki kembali ke sekolah.

    Segera aku mandi dan berseragam, tanpa sarapan aku berangkat ke sekolah. Di sekolah, kembali aku dihantui oleh rasa gelisah. “Ya Allah,,, apa rencanaMu selanjutnya? Apa yang sebenarnya akan terjadi padaku? Mengapa gelisah ini terus-menerus menghambatku. Hamba mohon,,, berilah hambaMu ini petunjuk…”, tersirat di kalbuku.

    Aku mencoba menenangkan diri dengan membaca buku yang ada dalam genggamku. Mungkin masih terlalu pagi untuk teman-temanku berangkat ke sekolah, sehingga kelas masih tampak kosong tak berpenghuni. Kebetulan pelajaran pertama adalah Bahasa Indonesia dan akan diadakan ulangan lisan. “Hmmm…. pukul 07.10 wib, aku masih ada kesempatan 20 menit untuk dapat membaca buku catatan ini. Semoga hasilnya akan lebih baik dari ulangan teori kemarin, untuk membayar senyum bunda ketika ku pulang nanti”, tuturku dalam hati.

    Ya,,, satu per satu teman-temanku memasuki kelas, saling sapa dan segera duduk dibangku yang sempat tak berpenghuni itu. Tanpa ku sadari aku tersenyum melihat ragam raut wajah mereka. Ternyata senyumku telah mengundang suara petir yang seolah membelah langit, merambat ke bumi dan merasuk ke dalam jiwaku, bersarang di hati untuk merobeknya hingga meninggalkan goresan luka yang mendalam hingga ku tak dapat menemukan ramuan untuk dapat menyembuhkannya.

    Kali ini hal terlarang dari ibuku tak dapat ku cegah lagi, diriku tak terkendali. Air mata yang lama terbendung mengucur deras dari muara tanpa sumbat. Ya, ini semua karena suara petir itu dengan kesalahpahaman atas tindakan yang telah ku perbuat. Aku salah, salah, dan sangat salah, aku menyadari itu. Dan kini aku harus dapat mempertahankan sebuah persahabatan yang telah lama terjalin, aku harus menentukan yang terbaik, sebab aku tak ingin ada permusuhan atas tindakan salah paham yang ku perbuat ini.

    Bel berbunyi pertanda masuk dan pelajaran pertama pun akan segera dimulai. Dengan perlahan, aku menghapus luapan air mata di pipiku. Aku mencoba tersenyum, agar raut musamku tak tampak. Ulangan lisan pun dimulai, dengan tenang aku hadapi semuanya. Tibalah giliranku, dengan sedikit terisak aku melangkah ke depan kelas. Alhamdulillah,,, walaupun sedikit gugup, aku mampu untuk menjawab semua pertanyaan dari guruku. Dan pelajaran pun usai tepat pukul 09.00 wib.

    Peristiwa yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya pun terjadi. Aku serasa duduk dibangku pengadilan, aku sebagai tersangka yang harus siap dimasukkan dalam sel jika terbukti bersalah. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari bibir yang bernyawa.

    Rasanya, aku tak sanggup untuk menjawab semua pertanyaan itu. Keburukan yang ingin aku sembunyikan, kini tak dapat ku hambat lagi. Air mataku kembali bercucuran, sungguh sulit untuk menjadi seorang wanita yang tegar, tegas tanpa air mata. Seorang sahabat, yang tampak dengan sangat membelaku tak dapat ku nilai lagi. Benarkah dia menyayangiku dengan tulus? Atau semua itu hanya ego untuk menyelimuti rasa bersalah karena teror yang tak jelas.

    Seseorang yang aku harapkan untuk menjadi sahabatku pun juga berperan dengan melontarkan kata-kata yang sedikit menyejukkan suasana panas dalam diriku. “Sayang, aku menyanginya sebagai sahabat”, kalimat itu terlontar lantang dari bibirnya. Namun, benarkah dia menyangiku tanpa ego yang sesaat? Atau itu semua hanyalah sebuah ucapan yang dilontarkan sebagai pendingin dalam ruang panas ini, yang takkan pernah terealisasi dalam kenyataan hidup yang ada.

    Dan kini aku merasa lega, setelah aku berhasil meluapkan satu rasa yang begitu besar, yang terbendung lama menyelimuti kalbuku. Aku menyanginya, aku menyangi sahabat-sahabat dan teman-temanku. Aku ingin semuanya merasakan kebahagia bila berada disampingku, sebab kebahagian semuanya merupakan suatu keindahan dalam rona kehidupanku. Bagiku sekali menyangi seseorang, selamanya aku akan tetap sayang dan rasa sayang itu takkan pernah berkurang dan takkan hilang, namun rasa sayang itu akan bertambah setelah aku menemukan orang yang tulus menyangiku untuk dirinya.

    Aku tak peduli seberapa banyak orang yang membenciku, namun rasa sayang ini akan selalu ku jaga agar ku sejati sebagai seorang penyayang. Dan aku meyakini bahwa aku terlahir sebagai seorang penyayang tanpa harus menyimpan rasa benci pada siapapun. Sebab kebencian akan mudah memunculkan dendam yang dapat melukai diri kita sendiri dan orang lain yang kita benci. Kejujuran merupakan hal yang pertama bagi ku dan ku sangat membenci kebohongan.

    Tanpa terasa, air mata pun mengering dipipiku. Aku pergi ke kamar mandi, dan membasuh wajahku yang tampak amat kusam. Aku tersenyum, untuk menghibur diri yang sesak akan masalah yang terjadi. Namun aku sedikit tenang, sebab statusku sebagai seorang tersangka di pengadilan telah berubah menjadi saksi dari sebuah peristiwa nyata yang tak terungkapkan ribuan kata.

    Bel istirahat pun berbunyi, banyak lagi tugas-tugas yang harus aku selesaikan bersama teman-temanku. Aku merasa teramat lelah, namun lelah tersebut berhasil ku abaikan. Bel pun dengan nyaringnya berbunyi kembali pertanda masuk. Bel lagi, pertanda istirahat, masuk dan akhirnya pulang. Dengan sigap ku rapikan buku-bukuku dan ku masukkan ke dalam tas dan segera ku beranjak pulang. Rasanya ingin segera melihat sinar wajah sang bunda yang selalu menerangi gelapku, aku ingin segera beradu argument dengan dirinya agar ku dapat melepas senyum dan meninggalkan sementara penat masalah yang mengendap dalam pikiranku.

    “Assalummu’alaikum bunda…” “Walaikumsalam sayang…” Aku sayang sama bunda, dan sampai kapan pun aku akan tetap menyanginya. Aku takkan penah meninggalkannya, karena ku takkan dapat hidup tanpanya dan kebahagianku yang abadi ada dalam genggamannya. “Terima kasih Bunda, kau bagaikan bintang dan mentari yang tak pernah padam mewarnai bumi”
  • Kisah Tak Berujung


    Ini kisah ku yang masih hidup di hatiku ..
    Kisah yang terpisah oleh Perbedaan ..

    Kau bukan lah untukku meski ku tau ku menyayangi mu ..
    cinta tak mungkin terjadi di antar kita berdua ..
    dirimu kini telah bersamanya dan kita juga dipisahkan oleh perbedaan ..


    kini ku sadari rasa ini tak mungkin dapat terwujud dalam kisah kasih kita ..
    kini ku mengerti tulus cinta ini hanya lah mimpi panjang yang tak pernah usai ..
    karna tuk bersama mu bagaikan berharap memeluk bintang ..

    masih teringat jelas raung wajh mu di hidupku meski kau bukan siapa.siapa aku lagi ..
    tapi aku selalu doain kamu biar DIA Lindungi kamu trus ..
    jujur aku tak kuasa lepasin tangan mu untuk terakhir kalinya .. namun yang pasti terjadi kita tak mungkin bersama lagi .

    Saat menjelang hari-hari bahagiamu aku memilih 'tuk diam dalam sepiku ..
    bila nanti kutemukan kau bahagia dengan dia aku akan ucapin kata 'Selamat' itu ..
    Selamat tinggal, kisah tak berujung kini ku 'kan berhenti berharap .
    Perpisahan kali ini untukku akan menjadi kisah sedih yang tak berujung .
    walaupun hati ini masih berat trima kenyataan yang ada ..

    Berat bebanku meninggalkanmu separuh nafas jiwaku sirna ..
    Bukan salahmu apa dayaku mungkin benar cinta sejati tak berpihak pada kita ..
    Kini harus aku lewati sepi hariku tanpa dirimu lagi ..
    Biarkan kini ku berdiri melawan waktuku untuk melupakanmu ..
    Walau pedih hati namun aku bertahan ..

    ku yakin ini jalan yang terbaik .
    dan dengar lah . tak pernah aku sesali cinta ku padamu karna bagiku tlah miliki mu sudah cukup untuk ku ..
    maav kan aku yang tak pernah jadi yang terbaik buat mu ..
    selamat tinggal kisah sejatiku .. pergilah ..
    sekarang terbanglah cinta .
  • SAYOUNARA MAMI


    Setiap harinya aku selalu melihat dia dudu dibangku dibawah rimbunnya pohon tua. Ketika bel istirahat berbunyi, ia selalu duduk sendiri dibangku itu sambil menulis sesuatu dibuku catatannya. Mami adalah namanya. Rambut panjang dengan wajah yang anggun dan sendu, diiringi dengan sifatnya yang tak banyak bicara. Aku menyandarkan badanku pada pohon besar dibelakang sekolah yang tak jauh dimana ia selalu beranjak. Terkadang aku berpikir, mengapa wanita sepertinya malah dijauhi oeh orang lain? Memang itulah fananya kehidupan yang akan membuat sesorang untuk selalu bertahan untuk menjalaninya.


    Hembusan angin di siang hari, membuat sebagian rambutnya terurai dan tampak wajah yang selalu dipenuhi kesedihan. Lalu dengan langkah pelan aku menghampirinya. Dia kaget dengan kedatanganku, tetapi aku mencoba menenangkan diri. Setelah kami berkenalan, aku bertanya pada dirinya mengapa ia tak suka bergaul dengan anak-anak lain dan selalu ingin sendiri. Dengan hembusan nafas yang pelan, ia menjawab jika ia tak pernah punya teman dalam hidupnya dan menganggap hanya pohon-pohon, angin-anginlah yang hanya dapat ia ajak untuk curhat.

    Dan terlarutnya kedalam cerita, aku tercengang ketika ia menceritakan jika kedua orangtuanya sudah meninggal karena kecelakaan pesawat waktu mereka akan berangkat ke USA. Aku berusaha menghiburnya dengan berbagai cara, tapi tak berhasil. Mami, siswi SMA kelas XI yang pediam meiliki masa lalu yang kurang baik. Lalu dengan beraninya aku memegang tangannya dan memanangnya penuh arti, jika hidup itu harus kita jadikan menjadi sessuatu yang terindah. Dengan cepat ia melepaskan taganku.

    Sehari setelah itu, aku tak melihatnya. Tersiar kabar jika Mami telah dirawat di rumah sakit karena sakit kanker otak yag dideritanya. Aku terkejut sekaligus khawatir. Segera aku bergegas meuju rumah sakit. Ketka disana, hanya ada kesedihan dan air mata, Mami meninggal. Lalu susternya memberikan secarik kertas yang ditulis Mami kepadaku. Dan isi pesannya itu berbunyi :

    “Hadapiah hidup dengan senyuman, dan satu hal yang belum aku sampaikan….Aku mencintaimu.” Aku sangat terharu melihatnya, dan diatas bunga-bunga kematian aku berkata dalam hati, Tuhan menyayangimu dan akan bahagia. Mami, sosok wanita yang membuat dunia baru dalam hidupku, sayounara Mami, semoga dirimu tenang disana.
  • INDAH PADA WAKTUNYA


    Aku adalah seorang remaja yang terhempas dalam kenyataan hidup ditengah arus globalisasi. Bisa dibilang aku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ibuku hanya seorang penjual sayur-sayuran di pasar pagi. Pendapatan ibuku pun tidak seberapa, hanya cukup untuk sekali makan. Bisa dibilang juga, itu semua tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sekeluarga. 


    Terlebih lagi aku mempunyai dua orang adik. Ayah dan ibuku sudah lama bercerai. Ibu memilih bercerai dengan ayah karena sifat ayah yang pemarah dan suka mebuk-mabukan. Setelah bercerai dengan ibu, ayah masih saja sering mengganggu kehidupan kami. Bahkan ia sering datang dengan cara tiba-tiba dan memukulibu serta adik-adikku. Mungkin ayahku sudah kehilangan akal sehatnya. Tidak jarang aku pun sering terlibat dalam amukan ayahku.


    Dan pernah pada suatu hari, ayah datang dan marah-marah tidak jelas kepada ibuku. Aku tidak tahu apa masalahnya sehingga ayah bisa marah-marah seperti orang kesetanan. Dan tiba-tiba pula ayah memukul ibuku. Kedua adikku yang kebetulan sedang bersama ibuku di rumah pun tidak luput dari amukan ayahku yang gila itu. Aku yang saat itu baru saja pulang sekolah sangat terkejut melihat kejadian itu. Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi melihat ibuku dipukuli seperti itu. Aku tidak bisa menerima sikap ayahku yang berbuat semena-mena seperti itu. Aku pun yang berusaha melindungi ibuku dari pukulan ayahku pun ikut menjadi sasaran amukan ayahku. Aku mulai tidak tahan dengan semua perlakuan ayahku terhadap ibuku dan adik-adikku. 

    Aku yang mulai terbawa emosi karena tindakan ayahku tersebut langsung mendaratkan tinjuku pada wajah ayah. Ayahku yang tidak terima atas tindakanku lantas memukulku. Akupun jatuh tersungkur dan hampir terbentur meja. Aku pun lantas mengambil sebuah guci yang ada di meja dan memukulkan guci tersebut tepat di kepala ayahku. Ayahku pun berteriak kesakitan dan jatuh seketika karena kepalanya mengeluarkan darah. Kemudian dengan segera aku menyeretnya keluar dari rumah. Dan ayahku langsung pergi dari rumah dengan membawa rasa sakit dan mengucapkan kata-kata kotor. Beruntung saat kejadian itu terjadi, tidak ada tetangga yang melihat kejadian itu secara langsung. Aku pun kembali ke dalam rumah dan berkumpul dengan ibu dan kedua adikku serta menenangkan mereka semua.


    Sejak kejadian itu, ayah tidak pernah datang lagi menemui kami. Namun itu hanya berlangsung selama beberapa minggu saja. Setelah itu ayah mulai kembali dengan kegilaannya yang tidak berperikemanusiaan itu.


    Kehidupan keluargaku yang serba kekurangan membuat kami harus lebih berhemat. Kedua adikku saja tidak ada yang bersekolah. Ibu sudah sangat bersyukur bila bisa menyekolahkan aku hingga lulus SMA. Namin aku mempunyai tekad yang kuat untuk melanjutkan pendidikanku hingga ke jenjang yang lebih tinggi.


    Hari ini aku mendapat panggilan dari guru karena aku sudah menunggak uang sekolah selama dua bulan. Aku bingung harus berbuat apa agar bisa mendapatkan uang untuk membayar uang sekolahku. Aku sengaja tidak memberitahukan ibuku mengenai masalah ini. Aku takut ibu akan sedih karena tidak bisa memenuhi kebutuhan sekolahku. Hal ini dikarenakan penghasilan ibu yang hanya cukup untuk makan kami sehari-hari. Aku berinisiatif intuk mencari pekerjaan. Namun aku tidak mendapatkan satupun pekerjaan. Aku mulai putus asa. Namun di tengah keputusasaanku itu aku mendapatkan ide yang cemerlang. Aku bisa memanfaatkan kemampuanku dalam bernyanyi. Aku pun pergi ke sebuah cafe untuk melamar pekerjaan di sana.


    Aku tahu tempat itu karena beberapa hari yang lalu salah seorang temanku menawariku sebuah pekerjaan untuk menyanyi di tempat itu. Dia menawariku untuk bernyanyi di cafe itu karena dia mengetahui kalau suaraku merdu sekaligus kondisi keluargaku yang sedang kesusahan.


    Sekilas aku berpikir,”mungkin ini yang dinamakan teman, selalu ada di kala susah maupun senang”.
    Aku diterima untuk menyanyi di cafe itu. Bayaranku untuk sekali manggung sebesar seratus ribu rupiah. Bayaran yang lumayan besar untuk seorang pemula sepertiku. Uang yang aku simpan selama aku menyanyi di cafe itu sudah lumayan banyak, dan itu sudah cukup untuk mebayar uang sekolahku yang menunggak selama dua bulan. Sisa dari uang yang aku miliki, aku berikan kepada ibu sebagian untuk keperluan belanja dan yang sebagian lagi aku simpan untuk berjaga-jaga jika ada keperluan yang mendadak.


    Ibuku sangat senang menerima pemberian dariku. Ia sangat bersyukur pada Tuhan karena aku sudah bisa belajar untuk lebih mandiri. Aku sangat senang bila ibuku pun senang..


    Lama aku menyanyi di cafe itu. Mendengar suaraku yang lumayan merdu, pemilik cafe mengizinkanku untuk menjadi penyanyi tetap di cafe tersebut. Di sana bukan aku satu-satunya penyanyi yang bernyanyi di cafe itu. Ada seorang wanita yang juga bekerja sebagai penyanyi di cafe tersebut. Awalnya dia senang saat berkenalan denganku. Tapi lama-kelamaan dia mulai menunjukkan sikap yang kurang baik padaku. Dia sering memarahiku padahal aku tidak membuat kesalahan. Mungkin dia iri padaku karena aku mendapat perlakuan yang lebih baik dari pemilik cafe dibandingkan dengannya. Hingga dia tega memfitnahku dengan sesuatu yang aku sendiri tidak merasa kalau aku melakukan kesalahan itu. Pemilik cafe di tempatku bekerja yang termakan oleh omongan wanita itu kemudian memecatku dari cafe itu. Aku sungguh sedih sekali karena aku difitnah atas perbuatan yang tidak pernah aku lakukan sama sekali. Aku kecewa, aku putus asa, aku tidak tau harus berbuat apa lagi.


    Dimana aku harus mencari pekerjaan setelah ini? Apa yang harus aku katakan pada ibuku atas kejadian ini? Mengapa hidupku harus berjalan seperti ini? Hanya pertanyaan semacam itu yang terlintas di pikiranku sepanjang jalan. Kebahagiaan yang aku rasakan hanya berlangsung sekejap. Entah ini hanya suatu kebetulan atau memang takdirku harus seperti ini.
    “Oh Tuhan... aku tidak sanggup”, ucapku dakam hati.


    Aku sungguh tidak menduga kenapa ia tega melakukan hal ini padaku. Seseorang yang aku kenal baik dan ramah ternyata hanya sebagai sampul depan saja. Sungguh aku sangat merasa kecewa. Tetapi biarkan sajalah, karena setiap orang memiliki catatan kebaikan dan keburukan tersendiri.


    Kini aku kembali dengan hari-hariku yang suram. Hari ini aku tidak bersemangat untuk sekolah karena aku terus memikirkan ibu dan kedua adikku. Saat aku berjalan sambil melamun di koridor sekolah, secara tidak sengaja aku menabrak seorang gadis yang begitu cantik di mataku. Dia sedang membaca sambil berjalan dan mungkin itu yang membuatnya tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya sehingga dia kurang berkonsentrasi dengan perjalanannya dan menabrakku. Kami kemudian saling meminta maaf dan sekalian aku berkenalan dengannya. Itu karena sudah hampir 3 tahun aku bersekolah di sekolah ini, tapi aku belum begitu mengenal teman-temanku satu sekolah.


    Gadis itu bernama Geniung, dia memiliki paras yang cantik, berjilbab, dan memiliki perilaku yang sopan saat aku mengenalnya. Apa yang aku rasakan? Sepertinya aku mulai jatuh cinta. Sejenak aku lupa akan masalah keluargaku. Aku berusaha mencari informasi yang lebih tentangnya.


    Saat dia mengetahui kalau aku menyukainya, dia menunjukkan sikap yang berbeda kepadaku. Dia menjadi kurang bersahabat. Aku yang penasaran dengan perubahan sikapnya itu pun lantas menanyakannya langsung padanya. Dia menceritakan alasan kenapa dia merubah sikapnya kepadaku. Lama-kelamaan kami mulai akrab kembali dan saling berbagi pengalaman hidup. Aku menceritakan tentang keadaan keluargeku. Dia merasa turut prihatin dengan keadaan keluargaku.


    Sejak saat itu dia mulai memberikan perhatian kepadaku. Dia sering memberikan motivasi yang sengat berguna bagiku. Dan tidak itu saja, dia juga meminta ayahnya untuk mengizinkanku bekerja di peternakan milik ayahnya. Ayahnya pun memperbolehkanku untuk bekerja di peternakan miliknya sepulang sekolah. Dan atas pekerjaanku yang rapi, ayahnya pun memberi kepercayaan kepadaku untuk mengambil alih sebagai pemilik peternakan tersebut setelah aku tamat kuliah nanti. Kini aku bisa menyekolahkan kedua adikku dan membahagiakan ibuku. Aku sungguh berterimakasih kepada Tuhan yang telah memberikan jalan keluar terbaik bagiku atas segala masalahku. Dan hal ini juga tidak terlepas dari do’a ibuku yang menyertaiku setiap waktu, serta teman-temanku yang selalu memberikan dukungan kepadaku disaat aku merasa putus asa.
  • Ajarin Aku Mencintainya (PART III)

    “assalamualaikum” aku menyapa dan tersenyum pada Furqan dengan hati riang, seolah percakapan kami kemarin tidak pernah terjadi. Saat ini hanya ada satu alasan dalam hatiku, kumohon buat Furqan melupakan percakapan kami kemarin. Ya, percakapan kami.



    “Waalaikumsalam”Furqan menjawab salamku dengan senyuman seperti biasa. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku senang dan sekaligus merasa aneh. Ya, aneh. Bagaimana mungkin Furqan bisa melupakan percakapan kami yang kemarin? Atau mungkin Furqan hanya ingin aku tahu bahwa dirinya adalah Furqan yang kukenal dulu. Aku bingung.


    Dan kebingunganku itu kubawa sampai ke dalam kelas. Saat belajar pun aku hanya memikirkan kebingunganku dan berusaha mengingat sosok Furqan dulu. Bahkan saat guru ter-killer mengajar pun aku nekat tidak memerhatikan pelajaran.


    Furqan telah mengalami perubahan yang sangat besar dari Furqan yang kukenal dulu, 3 tahun lalu. Furqan saat itu adalah sosok preman sekolah yang terkenal dengan kenakalannya. Dengan geng bergaulnya dia sering membuat acara balapan liar di tengah malam buta. Bahkan yang kudengar dulu, dia pernah terlibat kasus nakoba dan harus berurusan dengan polisi.


    Tapi, 3 tahun lalu aku pindah ke Kota Bandung ini, meninggalkan Furqan dengan sederetan kenakalannya. Dan siapa sangka, Furqan yang dulu sinonim dengan kata preman, sekarang berubah menjadi seorang remaja 17 tahun yang sangat lekat dengan kata religius.

    Tiba-tiba muncul pemikiran dalam otakku, kalau Furqan saja yang seperti itu bisa berubah dan menjadi seperti sekarang, mengapa aku tidak? Aku tidak pernah terlibat masalah serius, aku tidak punya geng khusus, dan yang paling penting aku tidak pernah berurusan dengan polisi lantaran hal negatif.


    Ya, aku bisa berubah. Aku harus berubah. Begitu bel pulang berbunyi, aku langsung berlari dengan cepat ke arah kelas Furqan. Begitu kudapati Furqan sedang berjalan menuju mushollah, aku langsung menghampirinya dan menarik tangannya cepat. Aku tidak sadar. SUMPAH! Aku tidak sadar.


    Furqan dengan cepat langsung menarik tangannya. Tanganku sakit karena itu. Kulihat wajah Furqan dan sepertinya aku sudah melakukan hal yang sangat fatal bagi Furqan.


    “Kita bukan muhrim. Haram hukumnya bagi laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim bersentuhan bahkan berpegangan tangan.”Astaga, aku sudah salah.
    “Maaf..” Aku menunduk


    “Sudah jangan kau pikirkan. Kalau kau seperti tadi, berarti ada hal yang penting.”
    “Ya, aku pikir aku akan memakai jilbab”
    Furqan heran sesaat. “Memakai jilbab tidak semudah yang kau pikirkan. Jilbab bukan sekedar kain yang menutupi rambut. Tapi, jilbab adalah penutup aurat perempuan. Jilbab bukanlah sesuatu yang mudah. Dengan memakai jilbab, berarti…”


    “Aku mengerti. Mulai sekarang aku akan memakai jilbab. Aku tidak akan pernah memerlihatkan auratku pada siapa pun kecuali muhrim ku. aku ingin sepertimu. merasakan ketenangan dan kedamaian yang sebenarnya.”


    “Itu maumu, dan aku tidak dapat menghalanginya.”
    Pulang sekolah, aku langsung menelepon Ryan dan meminta putus dengannya. Awalnya ia tidak mau. Aku berdalih aku sedang ingin sendiri, dan siapa sangka ia percaya, dan kami pun putus. Selanjutnya, aku bersama ibu Furqan pergi mencari jilbab yang cocok denganku dan memenuhi aturan berjilbab.
    “Bismillah hirrah manirrahim.”Aku memakai jilbab. Inilah yang kutunggu-tunggu sejak dulu. Dan Alhamdulillah ya Robb, kau telah memberikanku kesempatan untuk memakai jilbab.


    Aku datang ke sekolah dengan jilbab yang menutupi bahu hingga pinggangku. Semua orang menatapku heran. Mungkin mereka bertanya mengapa aku bisa memakai jilbab seperti ini. Aku melewati koridor seperti biasa menuju kelasku. Aku mengucapkan salam dan berjalan menuju tempat dudukku.


    “Heh! Ngapain lo mau duduk di tempat duduk teman gua?” Gina datang dan mendorong bahuku. Aku tersenyum. Astaga! Apakah aku benar-benar berubah bahkan teman sekelas ku pun tak ada yang mengenaliku. Aku memegang pundak Gina.


    Dia heran dan aku berkata“ini aku Honey, teman sebangku mu”
    Gina dan yang lainnya melongo. Mereka heran. Ya, sudah seharusnya. Aku sudah siap menerima semua perkataan mereka. Furqan dan ibunya sudah memberitahuku itu semua. Aku siap, Insya Allah.

    **Bersambung**
  • Copyright © 2013 - Nisekoi - All Right Reserved

    BBS FAJAR SHOBIH™ Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan